PUASA DAN NAFSU TIGA PERIODE

 


Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik & sosial.keagamaan.


Puasa Ramadhan 1443 H telah tiba.  Secara "syar'i" puasa adalah "doktrin" pembatasan makan minum (dan lain lain yang membatalkan puasa). Dalam konstruksi politik puasa haruslah bertransformasi maknanya pada level mental spritual membatasi nafsu "politik at takastur" (Q.S. Attakastur, 1-8) atau dalam istilah George Orwil disebut "binatangisme politik", yakni nafsu hendak terus berkuasa termasuk isu hari ini tentang wacana presiden tiga periode. Sebuah "pelecehan" terang terangan atas konstitusi negara yang mengatur kekuasaan presiden maksimal dua periode.

Watak dasar kekuasaan memang cenderung "at takastur", bermegah megah diri dan selalu bermuslihat kotor untuk memperpanjang kekuasaan. Lord Action, sejarawan moralis Innggris (1887) menggambarkan bahwa "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely", kekuasaan selalu berpotensi koruptif. Makin besar dan makin lama kekuasaannya makin gila gilaan watak korupsinya. Dengan kata lain, utak atik konstitusi untuk "mengakali" tiga periode tak lebih aktualisasi nafsu "binatangisme politik" berjubah aksesoris argumen modern yang menghina akal sehat.

Dalam sejarah peradaban kisah "jatuhnya" Adam AS  dari.surga oleh "rayuan politik" Iblis (Q.S. Al baqoroh, ayat 35) dan kisah kisah  lain dalam Al quran misalnya musnahnya bangsa 'Ad dan  Tsamud serta tersungkurnya Fir'un  Q.S . Al Fajr ayat 7 sd 11) adalah pelajaran otentik dari Al qur an  bahwa  nafsu "politik at takastur" dan "mengakali" perpanjangan kekuasaan ujungnya hanyalah mencicil galian lubang kehinaan sendiri. Berkali kali sejarah politik modern memberi kesaksian betapa banyak politisi dan penguasa yang dulu dipuja puja hingga ke level "langit ke tujuh" lalu dengan mudah tersungkur  dihujat rakyatnya sendiri justru karena alpa  "berpuasa" dan membatasi diri dari kecenderungan politik "At takastur" atau berlebih lebihan  di atas.

Inilah makna spritual politik dari tujuan berpuasa " La 'allakum   tat taqun". Sebuah alat sensor mental spritual untuk "isi ulang" kesadaran memproteksi diri dari godaan nafsu "politik At takastur". Dalam kategori Imam Al Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", puasa  dari sisi tujuannya "La'allakum Tattaqun" di atas haruslah melampaui batas makna syariatnya sekedar membatasi makan dan minum, lebih dari itu, secara spritual harus  menghunjam makna "jiwanya" untuk  belajar  membatasi diri atau mengontrol imajinasi akal akalan politiknya yang justru di era politik modern tak jarang kemampuan tipuan dimaknai sebagai keberhasilan berpolitik.

Akhirnya, seraya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa Ramadlan 1443 H, semoga kita dilimpahi kekuatan lahir batin dan penuh khusyuk untuk menjadikan puasa sebagai "vaksin yang imun" dari watak kekuasaan yang berlebihan. Berpuasalah dari muslihat rekayasa tiga periode jabatan presiden untuk memproteksi peradaban politik kita tidak berbalik arah dari "minad dhulumat ilan nur", kembali surut ke belakang, ke peradaban politik "dlulumat" yang primitif dan kekuasaan yang angkuh.

Wallahu a'lamu bish shawab. (*)

Next Post Previous Post