GUSDUR DAN GODAAN JOKOWI TIGA PERIODE.

 


Oleh. : H.  Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial.keagamaan.


Tulisan Gusdur berjudul "Islam Dan Ideosinkrosi Penguasa" (2006) penting dibaca ulang untuk membaca kemungkinan bahaya "privatisasi kekuasaan politik" atas nama demokrasi terhadap fenomena  gerakan Jokowi 3 periode yang dulu dimotori M. Qodari, Direktur lembaga survey "Indobarometer" dan kini timbul kembali disuarakan para elite mulai dari menteri, pimpinan partai politik dan relawan politik berbasis media sosial dengan narasi "penundaan pemilu" hingga tahun 2027 atas nama pemulihan ekonomi dampak pandemi covid 19,, anggaran pemilu yang besar bahkan dikait kaitkan dengan alasan perang Rusia Ukraina nun jauh di sana.


Prof. Yusril.Ihza Mahendra, ahli tata negara telah meresponnya dalam sebuah tulisan panjang tentang kemungkinan pembangkangan rakyat dan resiko rusaknya ketatanegaraan. Prof Abdul Mukti, sekretaris umum Muhammadiyah menduga ada akror aktor oligarkhis di belakang gerakan "penundaan pemilu". Kita tunggu sikap Nahdlatul Ulama (NU), ormas islam terbesar di Indonesia yang dulu oleh Gusdur diperankan sebagai gerakan "civil society" dan penyangga sosial demokratisasi politik.


Penulis kutip cukup panjang tulisan Gusdur tersebut secara utuh sebagai berikut. :


 _"Bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya menjadi lalim (baca: dlolim) dan mempersamakan kepentingan pribadi dengan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para penimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim I Song (Korea Utara). Begitu lama mereka berkuasa tanpa berani ada yang menentang secara terbuka hingga memaksa orang banyak untuk melawan dengan cara mereka sendiri_.


_Dengan demikian masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan baik waktu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu  maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan formalitas permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka melainkan menciptakan tradisi demokrasi yang benar benar hidup di kalangan rakyat_.


_Para penguasa yang demikian lama menguasai pemerintahan seperti yang terjadi di sebagian negara jelaslah tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelermbagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi dalam lembaga lembaga yang bersangkutan klaim sejumlah pemimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi dengan adanya pemilihan umum yang teratur jelas merupakan pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri"_.


Perspektif Gusdur dalam kutipan tulisan nya di atas mengngatkan kita akan pengalaman empiris kekuasaan politik di Indonesia yang terjadi pada presiden pertama dan kedua RI. Kedua nya berkuasa lama secara otoriter hingga kepentingan negara sulit dipisahkan dari ambisi kepentingan pribadinya justru atas nama demokrasi rutin yang dipagari para buzzer (pendukung) secara militeristik. Dipuja dan dipuji tiba tiba kehendak rakyat berbalik arah dan kedua nya jatuh dari kursi kekuasaan secara dramatis dan sangat menyakitkan.


Itulah pelajaran politik berharga bagi kita bahwa demokrasi yang diusung model M. Qodari dkk dengan gagasan Jokowi 3 periode, dimobilisir lewat lembaga survey untuk alat legitimasinya, diproteksi para buzzer secara sadis di media sosial  dan disuarakan nyaring oleh sejumlah elite politik adalah praktek nyaris sempurna dari "demokrasi primitif". Sebuah jebakan politik atas nama demokrasi yang justru mempercepat "layu nya pesona" Jokowi di ruang publik kecuali Jokowi sendiri tergoda untuk melakukannya. 


Berkali kali Jokowi menolak usulan tiga periode atau perpanjangan masa jabatannya  atas nama disiplin dan taat konstitusi. Kita lihat waktu kelak akan menjawabnya.


Wassalam ! (*)

Next Post Previous Post