GUS MUHAIMIN, NU, MUHAMMDIIYAH DAN NOBEL PERDAMAIAAN DUNIA
Oleh. : H. Adlan Daie.
Pemerhati politik dan sosial keagamaan.
Proposal dan inisiasi Gus Muhaimin mengusulkan ormas Isllam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai nominator penerima Nobel Perdamaian dunia 2022 - 2023 di Norwegia sebagaimana disampaikan secara resmi dalam konferensi pers di "Media Centre" DPR RI (Rabu, 16 Pebruari 2022) memiliki makna penting :
Pertama, dalam replika historis perjalanan bangsa dari sudut pandang penulis Gus Muhaimin hendak mengirim pesan bahwa NU dan Muhammadiyah dua ormas Islam berbeda "gestur" (akar dan aktualisasi keagamaannya) tidak perlu dipertentangkan secara "head to head" terlebih menguatnya "politik identitas" dalam 10 tahun terakhir - suka tidak suka - telah memicu "pembelahan" identitas ormas Islam secara keras di ruang publik mulai mengkhawatirkan "harmoni" sosial di level akar rumput.
Dulu saat Buya Hamka, tokoh Muhammadiyah memimpin majalah islam "Panji masyarakat" di era tahun 1950 secara rutin memuat tulisan KH. Hasyim Asy'ary, pendiri NU tentang "fatwa fatwa hukum" menurut NU (Aswaja). Tahun1980 an Gusdur mengundang AR. Fahrudin, ketua umum Muhammadiyah, menjadi imam sholat tarawih di masjid pesantren Tebuireng Jombang. Inilah kearifan historis bahwa perbedaan NU dan Muhammadiyah tidak perlu ditarik menjadi pembelahan sosial dengan identitas ormas yang mengeras di ruang publik.
Kedua, NU dan Muhammadiyah dua ormas Islam menurut peneliti asing Mitsuo Narakuma (peneliti Jepang yang meneliti NU dan Muhammadiyah tahun 1979) adalah dua ormas Islam peletak dasar "kompatibiltas" atau kecocokan doktrin nilai islam dengan Pancasila dan NKRI. NU di kemudian hari meletakkan Pancasila dan NKRI dalam konsep.keagamaan 'Mu'ahadah wathaniyah" (konsensus kebangsaan) dan Muhammadiyah menyebutnya "darul 'ahdi was syahadah" (negara konsensus) secara final. Dua dua nya "jangkar'" penyangga Pancasila.dan keutuhan NKRI.
Penolakan NU dan Muhammadiyah atas RUU HIP (Haluan Ideologi pancasila) tahun 2020 - diinisiasi Fraksi PDIP DPR RI - adalah contoh kekinian sikap dua ormas Islam di atas bahwa Pancasila harus dijaga, tidak ditarik kembali pada konsep Pancasila versi 1 juni 1945 (bung karno) melainkan "kukuh" pada konsep final Pancasila 18 Agustus 1945 hasil kesepakatan para pendiri bangsa - berlaku hingga hari ini agar tidak menimbulkan benturan ideologis yang merusak kohesi bangsa akibat respons balik tuntutan permberlakuan Pancasila 18 juni1945 yang memuat syariat Islam.
Di luar konsep kebangsaan yang menjadi fondasi perdamaian Indonesia dan jalan peradaban dunia di atas NU dan Muhamnadiyah telah mewariskan "legasi" luar biasa dalam kiprah sosial kemasyarakatan dan pendidikan dengan "gestur" kultural yang mewarnai kemajuan Indonesia modern yang tidak mungkin "dipikul" sendirian oleh negara. NU dengan tradisi kultural pesantren yang kuat dan Muhammadiyah dengan amal usaha yang sama kuatnya dalam segmentasi sosial berbeda yang dibentuk perjalanan historis kedua ormas ini saling menguatkan satu sama lain menjadi keutuhan Indonesia yang berwarna.
Paparan singkat tentang "gestur", kiprah dan legacy NU dan Muhammadiyah di atas sedikit memberikan kerangka tafsir atas usulan.Gus Muhaimin bahwa NU dan Muhammadiyah memang layak dinominasikan meraih Nobel perdamaian dunia di Norwegia tahun 2022-2023. Usulan Gus Muhaimin diatas telah menggeser posisi politiknya tidak sekedar representasi NU melainkan "duta suara" umat dan bangsa untuk jalan meletakkan Indonesia menjadi kiblat perdamaian dunia. Kita selayaknya memberi support dan dukungan atas ikhtiar besar Gus Muhaimin di atas.
Wassalam.