BAGAIMANA POLITIK SANTRI BISA MENANG PEMILU ?

 


Oleh.  : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.


Kenapa politik "santri" tidak pernah menang pemilu dalam sejarah pemilu di Indonesia?  Bukanlah populasi pemilih di Indonesia  87% (180 juta pemilih) beragama Islam? Bukankah NU ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki "pengikut" atau biasa disebut warga NU  menurut sejumlah survey sebesar 47% (90 juta pemilih) dari seluruh populasi muslim di Indonesia? Bagaimana penjelasan sosiologi politisnya dan di mana "missing link" atau titik putus politik santri dengan tali pengikat "umat" representasi pemilihnya? Dan bagaimana pula politik "santri" bisa menang dalam pemilu 2024?

Tentu sebelum menganalisis pertanyaan pertanyaan diatas penting penulis menjelaskan bahwa "santri" dalam konteks sosial politik memiliki dua pengertian, yakni komunitas sosial pesantren NU dan kelompok politik berlatar belakang ormas pergerakan Islam. Dua pengertian "santri" di atas dapat dibaca dari buku Dr. Zamakhsyari Dhofir berjudul "Tradisi Pesantren" dan buku Prof. Abdul Munir Mulkhan berjudul "Runtuhnya Politik Santri". Jadii, definisi "santri" disini adalah partai islam dan tokoh islam ditarik dari latar belakang ormas dan basis massa Islam pendukungnya.

Dalam pengertian "santri" di atas itulah, yakni partai berbasis massa islam sejak pemilu multi partai pertama tahun 1955  hingga lima kali pemilu multi partai di era reformasi partai partai islam baik berbasis massa islam modernis maupun massa islam tradisionalis  tak sekalipun menjadi pemenang pemilu.  Bahkan trend pemilih partai partai "islam" di atas mengalami penyusutan dari semula secara akumulatif pemilih partai partai islam  (Masyumi,NU, PSII, PERTI) sebesar 44% pada pemilu tahun 1955 menyusut tersisa 34% di pemilu terakhir tahun  2019 tersebar ke PKB,  PAN, PKS, PPP, dan PBB. Menyusut sebesar 10%.

Dalam konteks kontestasi pilpres langsung yang dimulai sejak  pemilu 2004 capres berlatar belakang  tokoh islam baik berbasis islam modernis maupun islam tradisionalis misalnya capres Amin Rais (tokoh politik islam modernis) dan capres Hamzah Has (tokoh politik NU) dalam pilpres 2004 dan capres Yusuf kalla di pilpres.2009 yang direpresentasikan sebagai "tokoh politik islam" gagal memenangi kontestasi pilpres. Pilpres 2014 dan pilpres  2019 tokoh politik islam dan partai partai islam  hanya berperan "medioker" -  unsur pendukung. Bukan pemeran utama dalam kontestasi dua kubu politik antara Jokowi dan Prabowo secara "head to head" dua kali.ber turut turut.

Proyeksi pileg dan pilpres 2024  kurang lebih kemungkinan sama hasilnya. Partai  seperti PDIP, Gerindra, dan Golkar atau dalam konteks kandidasi capres seperti Prabowo, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan (Anies lebih dekat dalam rumpun santri dari sisi gestur politik) secara umum di posisi tiga papan atas dalam sejumlah lembaga survey "arus utama". Di sisi lain partai partai berbasis massa islam dan tokoh politik islam  seluruhnya di luar "tiga besar", terpaut jauh secara elektoral.  Artinya secara "probabilitas" pileg dan pilpres 2024 kemungkinan kembali akan dimenangkan partai "nasionalis" dan capres tidak berlatar belakang ormas islam atau "santri".

Secara umum akar varian pilihan politik di Indonesia tidak bergeser dari hasil penelitian Clifford Gezt tahun1956, setahun pasca pemilu 1955 dalam bukunya berjudul "Priyayi, abangan, santri" - diterjemahkan Aswab Mahasin dari buku aslinya berjudul "The Religions Of Java". Penjelasan atas fakta fakta varian pemilih  di atas berbasis riset survey dan penelitian politik mutakhir dengan istilah pemilih "nasionalis" dan pemilih "santri" telah banyak ditulis oleh para pengamat politik misalnya Saedul Mujani, Direktur lembaga survey SMRC, Burhanudiin Muhtadi, Direktur eksekutif lembaga survey "Indikator Polirik" dan Eef Saedullah Fatah, pemilik lembaga survey "Polmark".

Temuan hasil penelitian dan survey  diatas menjelaskan bahwa pemilih 'abangan dan priyayi" - kini disebut pemilih "nasionalis" makin besar "ceruk" pemilihnya (65%) dibanding "ceruk" pemilih "santri" (35%) antara lain effect panjang dari melemahnya "politik aliran" selama orde baru sehingga tipis garis pemisah antara partai islam dan partai nasionalis. Tradisi "tahlilan"  dalam persepsi pemilih "abangan" adalah tradisi "slametan" masyarakat Jawa bukan identitas sosial santri meskipun dalam konteks ormas NU mereka dipahami sebagai "NU kultural" atau disebut "warga NU" tapi loyalis pemilih partai "nasionalis"

Dengan kata lain makin kuat mencitrakan diri sebagai "tokoh politik santri" atau partai islam baik islam modernis maupun islam tradisionalis meskipun dapat menguatkan identitas ideologisnya tapi makin menyempit "ceruk" pemilihnya kecuali sekedar "pemanis" unsur selebritas di ruang publik.

Lalu pertanyaan hipotesis dari judul tulisan di atas bagaimana politik santri bisa menang pemilu baik pileg maupun pilpres 2024 jawabannya tunggu di bagian kedua tulisan ini.

Wassalam.

Next Post Previous Post