ANTARA KH SAID AQIL, GUS YAHYA DAN POLITIK
Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan.
Penulis tentu tidak sedikitpun ragu ("la raiba fih") akan kualitas keilmuan, kepemimpinan dan "ke-NU-an" KH. Said Aqil Siradj, "trah" dari kiai NU khas kempek Cirebon Jawa Barat dan KH.Yahya Chalil Staquf (akrab dengan sapaan "Gus yahya), putera dari (Almarhum) KH. Cholil Bisri, seorang politisi NU piawai di eranya sekaligus pengampu pesantren Leteh Rembang Jateng. KH.Said Aqil Siradj dan Gus Yahya lahir dan tumbuh 100% dari "trah" tradisi sosial dan sanad keilmuan NU dengan sentuhan wawasan politik diwarisi dari Gusdur, pendahulunya di PBNU dan mentor politiknya.
Belakangan KH. Said Aqil dan Gus Yahya dibingkai sejumlah pengamat politik dan media dalam konstruksi perbedaan perspektif tentang relasi NU, politik dan negara. KH. Said Aqil diframing terlalu menggiring NU pada level politik praktis dan cenderung "berwarna" PKB, partai yang dilahirkan NU. Disisi lain Gus Yahya, penerus KH. Said di pucuk pimpinan PBNU saat ini dikonstruksi lebih "tegas" narasinya bahwa NU kembali ke khittah, tidak berpolitik praktis, berjarak sama dengan kekuatan politik manapun dan berulang ulang menegaskan bahwa NU tidak boleh dikooptasi siapa pun bahkan oleh PKB sekalipun.
Inilah cara rumit "orang luar" , yakni para pengamat politik dan sejumlah media membaca KH. Said Aqil dan Gus Yahya. Sama rumitnya membaca kemampuan imajinasi politik "orang NU" sendiri yang mahir merumit rumitkan persoalan politik yang sederhana dan sebaliknya canggih pula menyederhanakan persoalan politik yang rumit. Itulah "sexi" nya membaca NU kata Mitsuo Nakamura, peninjau asing pertama yang hadir di Muktamar NU ke 26 tahun 1979 di Semarang. Burhanudin Muhtadi, pengamat politik menyebut "kerumitan politik NU" adalah "kekecualian politik" (Tempo, 2004) yang tidak mudah dibaca bahkan oleh pengurus NU sendiri.
Dalam konstruksi penulis secara simplistis dan sederhana meskipun keduanya adalah lingkar dalam "Gusdurian" tapi KH. Said Aqil ebih mewariisi khazanah tradisi kelimuan NU dari Gusdur dengan daya hafal sangat kuat tentang sanad keilmuan dan tingkat tingkatan kitab kitab "bermadhab" NU. Penulis membacanya "fully" seorang kiai. Cara menarasikan "khittah" NU dengan diksi "kitab kuning" yang lentur, tidak abai bahwa PKB didirikan dari "rahim" NU dan llebih "berwarna" PKB meskipun tidak segan pula misalnya memberi sambutan di acara partai Golkar hingga partai Bulan Bintang (PBB), pimpinan Yusril Ihza Mahendra, "trah" politik Masyumi.
Di sisi lain Gus Yahya lebih "sophistacated" dan canggih mewarisi "cara main" politik Gusdur dan penulis membacanya khas "politisi kiai". Makin tegas menyatakan NU tidak berpoltik dan kembali ke "khittah" justru mengirim pesan iitulah "cara main" politik Gus Yahya. Itulah cara "kalkulasi" politik ala Gus Yahya cenderung kasat mata "memisahkan" NU dari PKB atau mungkin sebaliknya malah bagian dari "cara main" politiknya untuk menggairahkan akar rumput PKB bergerak akseleratif roda konsolidasinya. Betapa rumitnya membaca khas "politisi kiai", selalu membuka kemungkinan ruang tafsir politiknya.
Itulah sepintas konstruksi penulis membaca cara pandang politik KH. Said Aqil dan Gus Yahya. Bukan hal baru dan lumrah dalam dinamika sejarah politik NU. Dulu tahun 1952 KH. Wahab Hasbulah berdebat keras dua tahun dengan KH. Wahid Hasyim tentang perlu tidaknya NU keluar dari Masyumi, perbedaan KH. Idham.Khalid dan Gusdur meletakkan posisi NU dalam relasi politik dan negara, peralihan PBNU dari KH. Hasyim Muzadi ke KH. Said Aqil dan kini peralihannya ke Gus Yahya dengan "paradigma NU" yang diusungnya.
Beliau beliau di era nya telah mengabdi untuk NU tidak perlu saling dipertentangkan karena "setiap jaman punya tokohnya dan setiap tokoh punya limit waktu jamannya". Kini mari kita support NU di bawah kepemimpinan Gus Yahya secara kritis "tawashut" ala NU dan menjaga NU di daerah tidak menjadi lapak politik pengurus nya di musim pilkada sebagaimana dikehendaki Gus Yahya.
Tabiiiiik. !!! (*)