TANTANGAN PKB DI ERA GUS YAHYA KETUA UMUM PBNU
Oleh. : H. Adlan Daie.
Pemerhati politik dan sosial keagamaan.
Pemanggilan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam surat resmi terhadap Pengurus Cabang NU kab Banyuangi dan kab. Sidoarjo Jawa Tmur yang diduga terlibat politik praktis, yakni memberikan dukungan atas pencapresan Gus Muhaimin (republika, 22/2022) dalam konteks relasi NU dan PKB secara historis, ideologis dan aspiratif sungguh tidak proporsional dan berlebihan. Justru pemanggilan di atas dapat dibaca publik bahwa NU dibawah kepemimpinan Gus Yahya telah berpolitik praktis dalam.bentuk yang lain.
Bentuk berpolitik praktis yang lain misalnya dibaca publik dari tampilan Erick Thohir,. menteri BUMN yang mendadak "naturalisasi" menjadi kader Ansor, badan ototom NU akhir akhir ini sangat leluasa akses nya masuk ke pesantren pesantren basis sosial dan kultiral NU walaupun tidak dalam konteks deklarasi capres secara resmi dan seremonial tapi "gestur" politiknya mudah dibaca ke arah sana. Apalagi kementerian BUMN yang dipimpinnya bukan fortopolio kementerian yang harus turun interaksi sosial ke level grassroot.
Pertanyaan hipotesisnya ada apa dengan PBNU dibawah Ketua Umum Gus Yahya hingga terlalu jauh melakukan langkah pemanggilan secara resmi dua pengurus cabanv NU di atas sekedar dugaan memberi dukungan deklarasi pencapresan Gus Muhaimin? Bukankah Gus Muhaimin adalah cicit pendiri jam iyah NU, tumbuh besar dalam tradisi NU dan Ketua Umum PKB, satu satu nya partai politik yang secara resmi dilahirkan PBNU dan diniatkan serta didesain sebagai wadah tunggal aspirasi politik warga Nahdliyin?
Konteks pertanyaan di atas bukan soal kecemasan elektoral PKB di basis basis sosial warga NU karena relasi NU dan PKB bukan sekedar relasi struktural yang mustahil coba dipisahkan. Fakta fakta elektoral berdasarkan penelitian, riset dan survey sebagaimana dipaparkan dalam tulisan penulis berjudul "Kemustahilan Memisahkan NU dan PKB" (Kreator jabar, 15/1/2022) jelas bahwa relasi NU dan PKB adalah relasi suasana kebatinan warga NU sebagai varian rumpun pemilih santri telah membatin kiblat pilihan politiknya ke PKB. Tidak ada satu pun partai politik yang mewakili "wajah politik NU" kecuali PKB.
Selama ini argument kembali Khittah NU 1926 yang diputuskan dalam Muktamar NU ke 27 tahun 1984 di Situbondo Jatim menjadi justifikasi PBNU dibawah kepemimpinan Gus Yahya bahwa NU tidak terlibat politik praktis dan mengambil jarak yang sama atas semua partai politik. Dari segi "asbabun nuzul"nya keputusan kembali ke khittah di atas adalah ikhtiar politik untuk menghindarkan NU dari "modhorot" represi rejim politik orde baru sebagaimana halnya pendirian PKB oleh PBNU tahun 1998 adalah ikhtiar politik NU untuk memungkinan NU mengambil "maslahat" melalui.jalan perjuangan politik pasca dibukanya kran politik di awal orde reformasi.
Dalam konstruksi inilah NU hari ini seharusnya meletakkan kehadiran PKB yang didirikannya. Dengan kata lain, keterlibatan dua Pengurus Cabang NU di Jawa Timur di atas memberi dukungan terhadap deklarasi pencaprepasan Gus Muhaimin haruslah dipandang dan dimaknai sebagai aspirasi politik yang bersifat alamiah dalam arti terbentuk oleh ikatan relasi historis, ideologis dan relasi timbal balik secara resiprokal antara NU dan PKB.
Karena itu, dari sudut pandang penulis tidak perlu dilakukan pemanggilan terhadap dua Pengurus Cabang NU tersebut oleh PBNU untuk menghindari "turbulensi" atau goncangan politik yang dapat merugikan NU sendiri dan tentu saja PKB , satu satunya partai alat perjuangan politik yang didirikan NU untuk wadah tunggal aspirasi politik warga Nahdliyiiiin. Inilah tantangan bagi NU dan PKB sekaligus unruk jalan politiknya ke depan.
Wassalam !