NU INDRAMAYU DAN POLITIK EGALITARIAN
Oleh : H. MAHPUDIN, S.H., M.M., M.Kn,
Jelang gelaran Konferensi Cabang Nahdlatul Ulama (Konfercab NU) Kabupaten Indramayu yang Insya Alloh akan diselenggarakan pada tanggal 8-9 Januari 2022, menarik untuk disimak dua tulisan sahabat saya dalam dua media online yang berbeda dan dengan domain yang berbeda pula, namun dalam satu tarikan napas yang sama yaitu “ NU dan Egalitarinisme “.
Pertama, tulisan sahabat saya Adlan Dai di Media online KreatorJabar 30 Desember 2021 yang diberi judul : Menjaga Marwah Konfercab NU Indramayu 2022, dan Kedua Tulisan Asep Gatara dalam media online detikNews Selasa, 04 Jan 2022 berjudul : NU dan Politik Substansialistik.
Menjaga marwah konfercab NU Indramayu, artinya menjaga marwah NU dari praktik-praktik kotor dalam proses “fastabiqul khoerot” bagi siapapun yang berniat berkhidmat menjadi Ketua PCNU Indramayu. Sedangkan politik substansialistik mengandung makna bahwa proses kontestasi dan gerakan ke-NU-an haruslah didasarkan pada tujuan esensi ajaran Islam yaitu “Rahmatan Lil’alamin”. Politik dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu soal mengangkat dan merawat kemaslahatan umum atau kebaikan bersama. Yang membedakan dengan politik legalistik atau formalistik yang banyak diusung oleh partai politik berbasis agama.
Sudah terlalu lelah kaum nahdliyyin dibawa pada arus pengkotak-kotakkan dan klaim-klaim kebenaran sepihak, menjadi kelompok ashobiyah, dengan narasi-narasi yang konfrontatif. Saatnya NU kembali ke “Khittah” dengan nahkoda baru Gus Yahya dengan tagline kampanye “menghidupkan GUS DUR” dan berkomitmen akan menjaga NU agar jangan terlalu dekat dengan politik praktis (detikcom, 27/12).
Dalam kontek konfercab NU Indramayu, dua kandidat telah mengemuka untuk maju dan siap berkhidmat untuk NU sebagai calon Ketua PCNU Indramayu untuk masa khidmat berikutnya yang akan menggantikan posisi KH. Juhadi Muhammad, S.H., yang telah diamanahi mengkhodimi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat (PW NU JABAR).
Dua kandidat tersebut bagi para ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) se-Kabupaten Indramayu, selaku pemilik suara dalam konfercab tentunya bukan figur yang asing lagi. Keduanya telah menunjukan secara jelas “jenis kelaminnya” masing-masing. Jenis kelamin yang mengidentifikasi ke arah mana “garis dan arah perjuangannya”. Dan arah kiblat pun jelas antara Timur dan Utara Indramayu. Alur pemikarannya pun sudah dapat dibaca, antara parsial dan egalitarian.
Pemikiran egalitarianisme adalah kecenderungan berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan sama pada dimensi : agama, politik, ekonomi, sosial, dan atau budaya. Salah satu bagian dari doktrin pemikiran GUS DUR yang saya pahami ketika berinteraksi secara dhohir pada kurun waktu 1994 – 1996 adalah pada tiga demensi, yaitu : ke-Manusiaan, ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Aspek kemanusiaan menjadi yang pertama dalam amaliyah bagi kader PMII, selain doktrin Iman, Ilmu dan Amal Sholeh. Gus Dur yang akan 'dihidupkan lagi' oleh Gus Yahya, menyatakan bahwa yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan. Ini artinya, kemanusiaan merupakan tujuan dari setiap aktivitas politik. Dalam pengertian doktrin Egalitarian ini, bahwa pada hakikatnya semua manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental. Yang membedakan di mata Tuhan adalah Ketaqwaannya.
Walaupun secara faktual Nahdlatul Ulama (NU) sebagai “Jam’iyyah” dari periode ke periode senantiasa berada pada pusaran politik dan rasanya akan sangat sulit untuk tidak terjebak pada pusaran politik praktis. Akan tetapi saya meyakini atas pernyataan GUS YAHYA selaku Ketua Umum PBNU yang baru yang menegaskan bahwa : “tidak bakal ada calon presiden dan wakil presiden berasal dari PBNU”. Kader nahdliyin diperbolehkan mengikuti kontestasi politik asalkan tidak duduk di jajaran PBNU. Terjemahan ke bawahnya adalah tidak ada calon gubernur dari PWNU dan tidak ada bakal calon bupati/walikota dari PCNU. Ada baiknya bagi para pengurus NU wabil khusus bagi calon ketua PCNU Indramayu untuk berpikir ulang sekiranya ada terselip niat hendak menjadikan NU sebagai kendaraan politiknya.
Mengutip pernyataan sahabat Adlan Dai, Kreator Jabar 30 Desember 2021 : “ menjadi Ketua PCNU bahkan di level atasnya sekalipun tidak boleh dihayati sebagai jabatan politik. Menjadi Ketua NU tidak mengelola APBD, tidak mengatur birokrasi dan bahkan tidak bisa mengikat warga NU dengan instruksi dan regulasi. NU bukan instrument politik untuk mengakses bilik-bilik kekuasaan atau membuka lapak-lapak politik”.
Selamat berkonfercab secara riang gembira. (*)
Penulis adalah : Adovokat tinggal di Indramayu, Pernah jadi Sekretaris PMII Cabang Pontianak – Kalimantan Barat.