NU, GUS MUHAIMIN DAN NATURALISASI POLITIK ERICK THOHIR
Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik elektoral dan sosial keagamaan.
Hasil survey lembaga "baru" CSIIS (Centre for strategic on islamic international studies) yang tidak lazim dari sisi proporsi sebaran sampling responden terpilih dan methode "exit poll" yang digunakannya sebagaimana dimuat kantor berita "Antara" (21/1/2022) menempatkan Erick Thohir, menteri BUMN sebagai capres "paling disukai" warga NU pasca "naturalisasi" brand elektoral politiknya dengan identitas politik NU sejak."sah" menjadi kader Gerakan pemuda (GP) Ansor, badan otonom NU. Jauh di atas Gus Muhaimin Ketua Umum PKB, partai "wong NU" yang ia pimpin selama lebih dari 15 tahun terakhir.
Dalam konstruksi definisi tentang siapa yang disebut "warga NU" tidak mudah dirumuskan dalam definisi tunggal. Kategorisasinya selama ini disederhanakan menjadi "NU struktural dan "NU kultural" dengan varian tambahan "NU followers" (pengikut NU) dan "warga NU atau "NU citizenship". Batasan ruang lingkup dan parameter indikatifnya sangat lentur tergantung motiv dan kepentingannya. Dari sini muncullah perbedaan signifikan hasil survey tentang jumlah warga NU misalnya dalam survey LSI Deni JA Warga NU sebesar 37% (2019) dan Alvara institute sebesar 59% dari populasi muslim di Indonesia.
Inilah rumitnya membaca NU atau mengutip diksi Burhanudin Muhtadi, Direktur lembaga survey "Indikator politik" NU adalah "kekecualian" politik yang sulit diringkas dalam konstruksi tunggal. NU sebagai identitas rumpun pemilih bukan sekedar tidak mudah diarahkan pilihan politiknya oleh para elite strtuktural NU bahkan pada level NU struktural pun mudah kita jumpai perbedaan orientasi pilihan politiknya. "Naturalisasi" identitas politik ke NU an bukan variabel magnit yang mudah dikonstruksi seorang tokoh untuk disukai oleh warga NU kecuali bersifat framing artifisial yang tidak cerdas.
Warga NU dalam pengertian rumpun pemilih partai NU pada pemilu 1955 dan PKB di era reformasi adalah varian pemilih apa yang disebut Dr. Zamakhsyari Dhofir dalam bukun nya "Tradisi pesantren" (1982) yaitu "santri" atau komunitas sosial jaringan pesantren NU sebesar 18% berdasarkan hasil perolehan partai NU tahun 1955 dan tertinggi 13% capaian PKB selama lima kali pemilu di Era reformasi dengan sebaran geografis relatif tidak berubah signifikan sejak pemilu tahun 1955 hingga saat ini. Itulah fakta sosiologis elektoral basis pemilih varian santri, yakni komunitas sosial jaringan pesantren NU.
Dalam konteks pencapresan Gus Muhaimin penting dilakukan minimal untuk langkah langkah berikut :
Pertama, sebagai ketua umum PKB dengan basis dukungan sebesar 58 kursi DPR RI mengadaptasi teori ekonomi David Richarso , Gus Muhaimin memiliki nilai "comparative advantage" atau keunggulan komparatif yang tidak dimiliki tokoh tokoh politik populer non partai yang diandaikan akan maju dalam kontestasi pilpres 2024. Pemilih PKB seperti tergambar dalam survey survey kredibel sebesar 10% harus ditransformasikan dari variabel "kesukaan" menjadi daya ikat ideologisasi pada "gesrur" politik Gus Muhaimin minimal trend elektoral Gus Muhaimin berbanding lurus dengan trend elektoral partai yang dipimpinnya.
Kedua, fakta bahwa warga NU dalam pengertian basis pemilih santri diatas relatif kecil dibanding populasi pemilih "abangan" (meskipun secara sosial keagamaan mengikuti tradisi NU) dalam populasi pemilih di Indonesia, tidak bergeser dinamikanya dari potret hasil penelitian Clifford Geezt (1956) tentang varian pemilih di indonesia. Dalam konstruksi segmentasi sosial pemilih inilah penting menggerakkan para relawan partisipatif dari unsur non NU dan PKB serta di luar komunitas sosial jaringan pesanrren NU untuk menggaungkan tema tema kampanye non agama seperti advokasi petani tebu, reforma agraria, buruh pabrik dan migran, nelayan kecil dll.
Itulah "PR" yang tersisa untuk dua tahun ke depan dalam melapangkan jalan peluang Gus Muhaimin menuju pilpres 2024. Di luar itu, kompetensi politik, pengalaman di lembaga legislatif dan eksekutif Gus Muhaimin sudah sangat memadai untuk membawa kapal besar Indonesia tetap kukuh di landasan dasar Pancasila berlayar menuju cita cita bersama memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Semoga. (*)