NGERI-NGERI SEDAP INTERPELASI DPRD INDRAMAYU
Oleh. : Adlan Daie
Analis politik dan kebijakan publik.
Buku "How Democracies Die" (2018) karya duet pakar politik Harvard University, yakni Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi justru bisa "mati" di tangan institusi demokrasi sendiri seperti DPR RI dan DPRD akibat penguatan sentralisasi oligarkhi politik kali ini dalam konteks DPRD Indramayu secara telak dan eksponensial terbantahkan.
DPRD Indramayu mulai tampil dalam.lembaran "babak baru" demokrasi. Sebuah fenomena "ngeri ngeri sedap" dalam sejarah DPRD Indramayu bahwa 38 anggota DPRD Indramayu (lebih dari 50%) mengajukan hak interpelasi kepada eksekutif ( baca : bupati) sebagaimana disampaikan Ketua DPRD Indramayu H. Syaefudin, SH. sebagai tindak lanjut proses politik atas aspirasi masyarakat kepada DPRD ( 1 3 /1/2022).
Hak interpelasi adalah hak konstitusional DPRD kab/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/wali.kota mengenai kebijakan pemerintah kab/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara (UU no. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD / UU no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam konteks DPRD Indramayu hak interpelasi di atas diusulkan terkait problem tata kelola pemerintahan daerah, BUMD, RSUD dan khususnya persoalan PDAM "Tirta Dharma Ayu" yang sejak.awal diangkatnya Dirut PDAM baru Dr. Ir. Ady Setiawan telah menimbulkan kontroversi dan kegaduhan hingga kebijakannya "menabur angin" memecat 9 orang honorer PDAM . Dirut PDAM lupa akan kearifan sejarah bahwa "siapa menabur angin akan menuai badai" betapa pun bersandar pada tembok politik kokoh setara rejim Fir un sekalipun.
DPRD memang pilar demokrasi harus "hidup" untuk menjalankan fungsi politik "check and balances" terhadap kekuasaan eksekutif. Tanpa power penyeimbang secara konstitusional kekuasaan eksekutif selalu berpotensi apa yang disebut Lord Action, sejarawan moralis Inggris "Power tens to corrupt, absolute power corrupts absolutely". Kekuasaan (eksekutif) cenderung koruptif. Makin tidak terkontrol kekuasaannya makin menjadi jadi tindakan koruptif nya termasuk korupsi kebijakan publik.
Dalam konstruksi itulah urgensi hak interpelasi DPRD Indramayu diletakkan bahwa DPRD bukan "kantor birokrasi politik" untuk sekedar "gincu" demokrasi melainkan instrument legal perjuangan politik untuk advokasi kepentingan rakyat yang diwakilinya. "Di hati dan lidahmu kami berharap. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam", kata Iwan Fals dalam lirik lagunya "Untuk wakil.rakyat" (1987). Di titik inilah marwah dan martabat DPRD sebagai "ruh" demokrasi ldipertaruhkan eksistensinya.
Selamat kepada DPRD Indramayu telah menunaikan hak konstitusionalnya mengusulkan hak interpelasi kepada eksekutif. Sebuah jalan politik konstitusional untuk tidak membiarkan eksekutif "bekerja dengan selera politiknya sendiri" kecuali untuk menghadirkan "Indramayu bermartabat" dalam arti bermartabat yang sebenar benarnya bermartabat yang dalam konsep politik Imam Al.mawardi "li himayatil roiyah", untuk melindungi asa, harapan dan kepentingan rakyat. Bukan sekedar "bermartabat" yang digantung di spanduk dan baliho di ruang ruang publik.
Semoga babak baru interpelasi DPRD ini bukan stand up comedy politik, bukan pesesan kosong dan llayu sebelum berkembang melainkan "sekali layar terkembang pantang surut ke belakang (Sutan Takdir Ali Syahbana).
Wassalam. (*)