KEMUSTAHILAN MEMISAHKAN NU PKB.
Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati politik elektoral dan sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mustahil dapat dipisahkan. PKB tidak lahir dari proses kalkulasi politik "perorangan pengurus NU" melainkan sepenuhnya lahir dari "rahim" dan cita cita besar NU hingga keduanya bukan saja memiliki relasi kuat secara historis, ideologis dan aspiratif yang mustahil coba dipisahkan, lebih dari itu, suasana kebatinan dan alam pikiran warga NU sebagai varian rumpun pemilih santri telah "membatin" kiblat pilihan politiknya ke PKB.
Itulah yang dimaksud Gus Yahya Ketua Umum PBNU bahwa relasi NU dan PKB menurutnya berjalan secara alamiyah, tidak boleh saling kooptasi satu sama lain secara struktural yang ditafsir "bias" oleh sejumlah pihak bahwa NU di era Gus Yahya seolah olah hendak memisalhkan diri dari PKB. Justru Gus Yahya mengingatkan pengurus NU di segala tingkatan bahwa NU adalah ormas islam, tidak boleh dihayati dengan cara berfikir dan manuver politik, tidak gemar bikin lapak dan "maklumat" politik untuk privatisasi kepentingan politik pengurusnya.
Karena relasinya bersifat alamiyah sebagaimana dikatakan Gus Yahya di atas relasi NU PKB bersifat "membatin" di atas ikatan struktural dan mustahil dipisahkan. Dalam diksi politik H. Dedi Wahidi, anggota F PKB DPR RI dari sisi basis elektoral PKB "sudah "di cor" meskioun cara menarasikannya terlalu simpel seperti umumnya praktisi politik. Fakta fakta elektoral berdasarkan penelitian, riset dan survey politik berikut ini menjelaskan kemustahilan memisahkan NU dan PKB, yaitu :
Pertama, hasil penelitian Clifford Gezt tahun 1956, setahun pasca pemilu pertama tahun1955 dituangkan dalam bukunya "The Religion Of Java" dan menjadi rujukan para peneliti politik generasi sesudahnya. Dalam buku tersebut yang dialihbahasakan oleh Aswab Mahasin dengan judul Priyayi, Santri Dan Abangan" jelas memotret basis pemilih partai NU (1955) adalah rumpun santri tepatnya komunitas jaringan kekerabatan sosial pesantren NU ditinjau dari sebaran demografi pemilihnya.
Kedua, basis pemilih partai NU di atas secara alamiyah bertransformasi menjadi pemilih "asli" PKB sebagaimana temuan riset survey lembaga SMRC (2018) bahwa PKB adalah "party Id" atau "DNA" nya pemilih santri komunitas sosial jaringan pesantren. Dengan kata lain, menurut data lembaga survey tersebut bahwa derajat komponen psyikologis pemilih santri komunitas sosial jaringan pesantren NU relatif.tunggal adalah PKB. PKB partai paling kuat menjadi identitas pilihan polilik mereka.
Konstruksi perbandingan di atas menjelaskan bahwa PKB sebagai anak kandung "ideologis" partai NU tahun1955 meskipun dengan rentang jaman dan generasi politik yang jauh berbeda tetapi basis elektoralnya tetap "membatin" bahwa titik tumpu kekuatan PKB pada "party identification" atau disingkat "party id" sebagaimana basis "party id" partai NU di pemilu tahun 1955. Perbedaannya sedikit sekali dan tidak signifikan bahwa PKB dibawah kepemimpinan Gus Muhaimin tingkat sebarannya mulai sedikit meluas terutama di luar pulau Jawa dengan penetrasi program dan lain lain.
Dalam konteks kekuatan "party id" itulah maka jangan coba coba pengurus NU di tingkat manapun di basis pemilih komunitas sosial jaringan pesantren NU untuk merubah "kiblat" pilihan politik mereka selain PKB. Kegagalan sejumlah caleg dari pengurus NU di Jatim, Jateng dan Jabar yang betarung di dapil basis pemilih santri menggunakan perahu partai lain yang bukan basis elektoral partainya adalah pelajaran berharga untuk tidak diulangi.
Singkatnya warga NU atau lebih tetap komunitas santri jaringan sosial pesantren NU jangan sampai mengajari pengurus NU bagaimana cara berpolitik yang bisa diikuti"makmum" dan umatnya,. Tidak merubah kiblat politik hanya karena dituntun "nafsu politik"nya sendiri.
Wassalam ! (*)