BELAJAR DARI DAHSYATNYA GUS BAHA DI INDRAMAYU
Oleh. : H. Adlan Daie.
Pemerhati sosial politik dan keagamaan.
Gus Baha adalah fenomena kiai NU (Nahdlatul Ulama) yang dahsyat. Gus Baha menghayati NU tidak sekedar firqoh, kelompok golongan dan ormas islam dengan segala atribut atribut lahiriyahnya. NU tidak dipahami sebagai "lapak politik" dan "maklumat" politikl" pengurusnya. NU lebih substantif dipahami sebagai "manhaj lis tislahil hadloroh", jalan peradaban untuk perbaikan tata sosial Indonesia dan dunia.
Dahsyatnya Gus Baha di Indramayu terasa betul di hari sabtu sabtu malam minggu (15/1/2022) saat Gus Baha mengisi ceramah acara haul habib "Al Imamain" di pesantren Ribath Sindang Indramayu. Jamaah tumpah ruah dihadiri dari berbagai kalangan mulai pemuda bergamis, berjenggot, celana cingkrang, muslimah perkotaan, generasi milenial kafe kafe "syar'i" hingga rombongan jamaah mushalla dari kampung kampung berbaur tanpa sekat sekat ormas dalam fanatisme sempit (asobiyah qoumiyah).
Salah satu kedahsyatan Gus Baha adalah cara memahami perbedaan "furu'iyah" agama, misalnya, soal qunut dalam shalat shubuh tidak ditarik pada persoalan identitas ormas NU, Muhammadiyah atau ormas lainnya yang dapat membelah secara sosial melainkan pada rujukan madhabnya bahwa Qunut disunnahkan dalam Madhab Syafie dan sebaliknya tidak disunnahkan dalam Madhab Hanafi. Dua madhab besar itu bahkan empat madhab besar dalam tradisi Islam menjadi doktrin dasar yang dicantumkan dalam "qanun asasi "jam iyah" (Ormas) NU .
Cara pandang Gus Baha diatas dan ilustrasi lain yang Gus Baha kutip dari kitab "Risalah Anlus sunnah wal jama'ah" nya KH.Hasyim Asy'ary, pendiri NU, dalam konstruksi cara pandangnya relevan dengan gagasan besar Gus Yahya dalam buku nya berjudul "Pekerjaan Besar Nahdlatul Ulama" (2021). Dalam buku tersebut yang diakui sendiri buah dari perenunngan panjang memahami NU Gus Yahya sampai pada kebutuhan kesimpulan untuk tidak cukup memahami NU sebagai "firqoh", kelompok atau golongan yang dihayati dengan tendensi sempit.
Dalam konteks itu, menurut Gus Yahya (yang baru saja terpilih menjadi Ketua Umum PBNU) memahami NU sekedar "firqoh", kelompok atau golongan apalagi menarik garis beda pada level atribut atribut lahiriyahnya maka NU bukan saja potensial gagal menjadi rujukan "arah kiblat" bangsa dan solusi jalan baru peradaban dunia, lebih dari itu, NU akan mudah jatuh pada apa yang diisyaratkan Al Qur an, yakni menjadi bagian dari "kelompok pemecah belah agama, lalu menjadi golongan golongan. Masing masing golongan hanya membangga banggakan secara fanatik pada golongannya sendiri" (Q.S. Al Rum : 32).
Dalam konstruksi itulah fenomena Gus Baha di atas yang tumbuh dan besar dalam tradisi "cara berfikir" NU harus dimaknai bahwa NU memiliki kekayaan khazanah literasi dan modal sosial yang besar untuk menjadi tali perekat bagi keutuhan bangsa dan solusi peradaban dunia sebagaimana isyarat tali tambang dalam lambang NU yang melingkari bola dunia bukan malah menjadi penarik tali tambang "adu kuat" untuk mengalahkan kelompok lain di ujung tarikan tambang yang lain.
Wassalam !!!. (*)