ARTERIA DAN GIRING PSI POTRET BURUK POLITISI

 


Oleh.  : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan


Demokrasi dalam teori etika politik Prof.  Dr. Franz Magnes Suseno dalam paper nya "seputar etika politik" (2007) adalah jalan politik mulia dan beradab nyaris 100% tidak tampak dalam "gestur" (cara berfikir, berucap dan bertindak) pada dua sosok politisi di panggung politik nasional, yakni Arteria Dahlan, anggota fraksi PDIP DPR RI dan Giring Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mantan vokalis band Niji. Keduanya bernaung di bawah partai pengusung terdepan ideologi Pancasila tapi mereka terang terangan "menghinakan"  nilai nilai Pancasila di ruang publik.

Arteria Dahlan bukan kali pertama menodai nilai nilai keragaman yang dijunjung tinggi Pancasila dengan menghinakan etnisitas sunda, populasi penduduk terbesar (72%) di Jawa Barat hingga menimbulkan gelombang protes sangat besar akhir akhir ini. Sebelumnya, setahun silam, dalam acara talkshow TV nasional Arteria Dahlan tak segan segan membentak Prof. Dr. Emil Salim dengan narasi dan diksi "tidak beradab" dalam ukuran sopan santun Pancasila "kemanusiaan yang adil.dan beradab".

Giring Ketua Umum PSI tak kalah buruk prilaku politiknya. PSi yang semua diandaikan "reinkarnasi" dari partai PSI (Partai Sosialis Indonesia) di era orde lama  pimpinan Sutan Syahrir, dan di dalamnya berhimpun para intelektual politik seperti Tan Malaka Soejatmoko dll, ternyata hanya kumpulan anak muda, mengutip Panji Pragiwaksono di channel "Youtup" nya kosong isi kepalanya. Gincu politk PSI dengan tampilan anak muda yang "well educated"  hanya didirikan untuk memuntahkan caci maki dan dendam kesumat pada Anies Baswedan dengan cara tak berbudaya dan buruk.

Dulu para politisi di Indonesia umumnya lahir dari proses dialektika intelektualitas yang intens dan mendalam dalam artikulasinya merespons dinamika sosial dan aspirasi rakyat. J. Kusumo dan Wahid Hasyim misalnya di sidang PPKI (1945) atau Bung karno dan M Natsir di sidang Konstituante (1955) yang berposisi diametral dan berhadap hadapan secara ideologi politik berdebat tajam dan keras tetapi tidak saling "membunuh karakter" secara personal melainkan dibangun dengan argument dari bacaan yang kuat. Itulah kekuatan pikiran pikiran menyatukan semangat kemerdekaan dan keindonesiaan.

Politisi adalah "publik figur" jendala budaya bangsa sebagaimana dicontohkan para politisi di atas bukan "selebritas politik". Sebagai publik figur (seharusnya) kuat dalam gagasan dan pemantik pengaruh transformasi sosial tempat dimana rakyat menimba air keteladanan darinya. Sementara "selebritas politik" membangun citra personalnya melalui sensasi sensasi politik kosong yang diviralkan di media sosial dan potensial membelah kehidupan sosial secara ekstrim dan acapkali bikin kegaduhan di ruang publik tanpa makna kecuali sumpah serapah.

Penulis tidak ragu ("la raiba fih") mengkategorikan Arteria Dahlan dan Giring PSI dalam kategori kedua diatas, yakni "selebritas politik". Keduanya potret buruk politisi hanya pandai memproduksi sensasi sensasi politik dan ujaran caci maki tak beradab setara dengan narasi kaum opposan dan sejumlah ustadz baru yang konten ceramahnya hanya sumpah serapah dan caci maki  Jauh dari nilai nilai "publik figur" untuk diteladani. 

Semoga kita dilindungi dari  godaan memilih politisi "selebrita politik" yang sensasional tak berbudaya dan buruk.

Wassalam.

Next Post Previous Post