MENJAGA NARWAH KONFERCAB NU INDRAMAYU 2022

 


Oleh. : Adlan Daie

Pemerhati Sosial politik & keagamaan.


Pemantik  psyikhologis atau dalam istilah (Alm) Dr.  Nurcholish Madjid  "psychological striking force" untuk menulis catatan pendek ini sekurang kurangnya penulis "tergoda" karena dua hal berikut ini :

Pertama, tulisan pendek sahabat Imron Rosyadi, pengasuh  Al Maarif Langut, Lohbener di akun FB nya bahwa dalam tradisi jam iyah NU tidak dikenal masa jabatan melainkan "masa khidmat" (Fb, 22 november 2021). Spiritnya bahwa konfercab NU Indramayu yang akan dilaksanakan pada 8 sd 9 Januari 2022 bukan ajang perebutan jabatan politik kecuali  "liabluakum ayyukum ahsanu amala", proses seleksi untuk menemukan kader terbaik dalam  berkhidmat pada jam iyah NU.

Kedua, statement KH. Munaji, ketua Pergunu Indramayu saat berbincang dengan Yahya Ansori. "Jangan mengajarii generasi kita dengan hal.hal yang tidak benar kang. Tidak perlu kita meniru politisi yang menghalalkan semua cara untuk sekedar menjadi pengurus. Banyak ruang untuk berkhidmat. Jangan membelinya dengan rupiah", ujar KH. Munaji. (Fb Yahya Ansori, 18 novemver 2021). Sebuah sikap moral untuk menjaga marwah  jam iyah NU yang didirikan para Ulama dengan "riyadloh" bukan "rupiah".

Penulis  tentu tidak  dapat membaca suasana kebatinan dua sahabat penulis di atas saat mencurahkan pikirannya kecuali sedikit memaknai bahwa menjadi ketua NU di berbagai level adalah kedudukan mulia dengan dimensi spritualitas dan moralitas sebagai sumber mata air kekuatannya untuk berkhidmat pada maslahat umat.  Karena itu, dalam kaidah pesantren "lil.wasail hukmul maqasit", memperjuangkan tercapainya sesuatu yang baik dan mulia (misalnya menjadi ketua PCNU) harus dilakukan dengan cara  dan proses yang "halal" baik dan mulia pula.

Dengan kata lain, menjadi ketua PCNU bahkan di level atasnya sekalipun tidak boleh dihayati sebagai jabatan politik. Menjadi ketua NU tidak mengelola APBD,, tidak mengatur birokrasi dan bahkan tidak bisa mengikat warga NU dengan intruks.dan regulasi . NU bukan instrument politik untuk mengakses bilik bilik kekuasaan, atau membuka "lapak lapak"  politik. Minset dan cara berfikir menghayati NU seperti itulah antara lain yang mendorong kontestasi untuk menjadi ketua NU bisa  jatuh pada prilaku "menghalalkan cara yang tidak halal"  untuk konsesi konsesi politik.

NU sebagai "jam iyah diniyah wal ijtimaiyah",  ormas Islam dan sosial  kemasyarakatan yang lahir dari mata air akhlak luhur para Ulama harus dijaga  martabatnya untuk tidak diperlakukan dengan cara cara politik di atas. NU lebih dari sekedar "political game" pada level lahiriyahnya melainkan power pengaruhnya justru dibangun di atas  dimensi spritualitas dan moralitas yang kokoh. Di titik inilah nilai keberkahan berkhidmat pada NU hingga memiliki daya pengaruh dahsyat dan berwibawa dalam transformasi masyarakat sipil dan kebijakan pemerintah untuk selalu "tashorrul imam ala ar roiyah  manutun bil maslahah",  berpihak pada maslahat publik.

Memang terasa berat menjadi ketua NU tanpa "political game" jika hanya dimaknai aksesoris utk meng gagah gagah kan diri  di ruang publik. Tapi penulis sungguh percaya bahwa NU memiliki SDM yang melimpah untuk melahirkan pemimpin Ibarat atap rumah yang selalu siap menjadi orang pertama kena terik matahari dan derasnya hujan demi melindubgi "isi rumahnya". Bukan pemimpin ibarat lomba panjat pinang hanya menjadikan NU tangga merebut "sesuatu" di puncak pohon pinang.  

Jam iyah NU terlalu mahal harganya utk diperlakukan dengan minset seperti i lalu merasa seolah olah paling berjasa atas NU .

Selamat konfercab NU Indramayu. Semoga lancar sukses dan berkah. (*)

Next Post Previous Post