Legenda Jaka Bajul, Siluman Buaya yang Menikah Dengan Gadis Desa Jatisawit Indramayu
Jaka Bajul adalah sosok legenda yang berasal dari bangsa siluman yang menghuni aliran sungai Cimanuk. Jaka Bajul yang merupakan siluman buaya ini lantas menikah dengan seorang gadis cantik dari Desa Jatisawit, Kecamatan Jatibarang, Indramayu. Hingga kini, masih cukup banyak masyarakat yang meyakini kebenaran kisah Jaka Bajul ini.
Kali Cimanuk, adalah sebuah sungai yang cukup besar yang berhulu di Kabupaten Garut dan bermuara di daerah pesisir Indramayu. Sebagai salah satu sungai terbesar dan legendaris di Jawa Barat, sungai Cimanuk kerap digambarkan menyimpan beragam misteri, mitos dan kisah mistis di dalamnya.
Di daerah muara kali Cimanuk di Indramayu, masyarakat sekitar mengenal betul kisah Raden Wiralodra yang harus bertempur dengan bangsa siluman atau jin yang menghuni Cimanuk.
Wiralodra sendiri adalah seorang pangeran asal Bagelen (kini Kebumen), Jawa Tengah, yang mendapat wangsit untuk membabat hutan dan membuka pemukiman di sekitar muara kali Cimanuk.
Kisah Raden Wiralodra ini tertulis dalam sebuah prasasti dalam bahasa Sansekerta dan kini tersimpan di Pendopo Kabupaten Indramayu. Wiralodra sendiri disebut-sebut sebagai pendiri kota Indramayu sejak pertengahan abad 15 silam.
Sementara kisah Jaka Bajul adalah cerita rakyat yang diyakini secara turun temurun oleh masyarakat yang mendiami sekitaran aliran muara sungai Cimanuk.
Ilustrasi
Jaka Bajul adalah siluman buaya yang bisa berubah wujud menjadi pemuda tampan, ia adalah putra Ki Gede Rentang, raja siluman buaya kali Cimanuk.
Kisah petualangan Jaka Bajul sendiri bermula saat ia masih berusia muda. Jaka Bajul yang saat itu berwujud seekor anak buaya ini terdampar ke daratan karena Cimanuk meluap. Saat ia berusaha akan kembali masuk ke dalam air, ada seorang penggembala kerbau yang berusaha akan membunuhnya.
Namun sebelum itu terjadi, munculah seorang penghulu atau yang dalam bahasa setempat disebut Lebe, yang sedang menjala ikan dan lantas datang menolongnya. Penghulu lantas membawa anak buaya tersebut dan memeliharanya dalam sebuah kedokan atau situ.
Seiring berjalannya waktu, Jaka Bajul yang tinggal di Kedokan Talun Kanta ini tumbuh dewasa dan sesekali menjelma menjadi seorang pemuda.
Jaka Bajul yang dalam banyak riwayat memiliki beberapa nama ini kerap berubah rupa menjadi manusia saat bulan purnama dan berkeliling untuk melihat-lihat suasana desa dan mencari teman-temannya.
Saat melewati rumah Kuwu (Kepala Desa), Jaka Bajul merasa terpesona dengan kecantikan puteri dari Kuwu Jatisawit. Keduanya lantas berkenalan dan akhirnya saling jatuh cinta.
Saat bertamu ke rumah Kuwu, Jaka Bajul mengaku ia adalah anak angkat dari seorang Penghulu. Singkat cerita, pernikahan antara Jaka Bajul dan puteri Kuwu Jatisawit akhirnya berlangsung.
Beberapa waktu setelah keduanya resmi menjadi suami-isteri, Jaka Bajul lantas mengajak isterinya untuk menengok orang tuanya. Keduanya lantas berjalan menuju ke arah selatan dan menuju tepian sungai Cimanuk.
Beberapa riwayat menyebutkan, Jaka Bajul dan isterinya kembali ke pusat kekuasaan kerajaan buaya di sekitar daerah Rentang, Jatitujuh. Nama Ki Gede Rentang yang merupakan orang tua Jaka Bajul kerap dihubung-hubungkan dengan Bendungan Rentang yang berada di wilayah Majalengka tersebut.
Sesaat setelah sampai di pinggir sungai Cimanuk, Jaka Bajul lantas melemparkan batu dan aliran sungai Cimanuk mendadak terhenti. Terbentanglah jalan yang besar dan lebar lalu keduanya lantas menyusuri jalan tersebut. Sebelumnya Jaka Bajul berpesan pada isterinya agar tidak menengok ke belakang.
Karena menuruti permintaan Jaka Bajul agar tidak menengok kebelakang, isteri Jaka Bajul tak menyadari jika saat itu sebenarnya sedang menuruni dasar sungai. Sejak masuk ke dasar sungai dan melewati tirai alam gaib bangsa siluman, Jaka Bajul dan isterinya tak pernah kembali lagi.
Kuwu Jatisawit yang merasa kehilangan lantas mencari-cari anaknya. Bersama beberapa orang warga, ia lantas mendatangi penghulu dan menanyakan perihal anaknya yang menghilang tak lama setelah menikah.
Penghulu yang memang tidak memiliki anak ini merasa bingung, namun ia memiliki firasat bahwa Jaka Bajul atau anak buaya yang pernah ditolongnya yang sebenarnya menikah dengan anak Ki Kuwu.
Tak lama setelah itu, Jaka Bajul lantas mendatangi penghulu dan mengatakan, anak Ki Kuwu telah menjadi isterinya dan kelak akan menjadi permaisuri di kerajaan siluman buaya. Jaka Bajul kemudian berjanji akan selalu membantu setiap kesusahan warga desa Jatisawit.
Ia lantas memberi sebuah bedug dan berwasiat, "Pukulah bedug ini jika ada kesusahan. Maka kami siluman buaya kali Cimanuk akan datang membantu."
Penghulu lantas menceritakan semuanya pada Ki Kuwu, dan Kuwu pun merasa ikhlas menerimanya. Sebagai tanda ikatan hubungan yang erat, maka disimpanlah bedug pemberian Jaka Bajul ini di masjid desa. Jika suatu waktu ada kesulitan, warga tinggal memukul bedug tersebut.
Konon, pernah ada seorang warga yang tanpa sengaja memukul bedug dan akhirnya banyak buaya dan beberapa 'orang asing' yang mendatangi desa Jatisawit. Tak sedikit warga yang merasa panik dengan kehadiran buaya dan lantas mendatangi Ki Kuwu.
Setelah itu, Ki Kuwu lantas menyimpan bedug tersebut karena khawatir akan menimbulkan kepanikan. Terlebih, suasana desa saat itu sedang dalam masa damai.
Kabarnya, hingga kini tak ada satupun mushola atau masjid yang menyimpan bedug di desa tersebut. Persahabatan antara warga Jatisawit dan siluman buaya pun tetap berlangsung hingga saat ini.
Menurut cerita para orang tua, keturunan asli desa Jatisawit akan aman dari gangguan buaya dan bisa leluasa berada di sungai.
Riwayat kuno yang hingga hari ini masih diyakini dan diamalkan oleh sebagian penduduk adalah adanya sebuah mantra atau kalimat tertentu saat keturunan asli Jatisawit berada di Sungai.
Salah satu mantra tersebut berbunyi 'Kiri Buyut, kula anak putune wong Jatisawit, aja ganggu', atau jika dalam bahasa Indonesia kira-kira berbunyi 'Wahai Buyut, saya anak cucu orang Jatisawit, jangan diganggu.'
Selain itu, warga Jatisawit juga diyakini akan aman berada di tujuh muara sungai ke arah barat dari Cimanuk, begitu juga ke arah timur hingga sebagian Jawa Tengah.
"Batas barat berada di Citarum, batas timurnya antara daerah Tegal dan Pekalongan, yang menjadi wilayah kekuasaan Dewi Lanjar," ujar seorang Spritualis keturunan Jatisawit yang kini tinggal di Subang, Jawa Barat.
Kisah misteri dan pernikahan Jaka Bajul dengan gadis asal desa Jatisawit sendiri diyakini berlangsung sejak ratusan tahun silam. Menurut beberapa versi, peristiwa sakral nan mistis ini diyakini terjadi di awal abad 18, atau awal tahun 1700-an.
Legenda Jaka Bajul sendiri sering dipentaskan dalam bentuk drama maupun kesenian tradisional seperti pentas sandiwara dan seni Tarling.
Jaka Bajul adalah salah satu kearifan lokal dalam bentuk cerita rakyat yang sampai saat ini masih melekat di hati sebagian masyarakat Indramayu. (mch-dotgo)