Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu (Bagian Ke-10)
Ilustrasi Raden Wiralodra |
Raden Wiralodra setelah menanggapi cerita Nyi Endang Darma itu berkata “Jika benar demikian, maka jelaslah bahwa Eyang Pangeran Guru telah berbuat kesalahan. Siapa yang bersalah tentu akan menerima hukumannya. Meskipun beliau kakek hamba, namun hamba tak henda membela yang bersalah”.
Kemudian dia melanjutkan “Akan tetapi maafkanlah Tuan Puteri, hamba telah terlanjur membawa saudara-saudara hamba dari Bagelen untuk dihadapkan dengan tuan puteri, sudilah tuan puteri menerima tantangan mereka dengan suatu perjanjian. Jika tuan puteri yang menang dalam pertarungan nanti maka yang kalah akan menjadi pelayan tuan puteri, sebaliknya jika tuan puteri yang kalah, maka tuan puteri akan menjadi isteri dari yang menang”.
Dengan memperlihatkan paras muka yang sedih, Nyi Endang Darma berkata “Duh gusti, hamba mohon ampun tidak berani melawan saudara tuan hamba. Hamba hanya memohon menumpang hidup disini, karuniailah hamba yang lemah ini. Kalau tuan hamba tidak berkenan hamba menumpang hidup disini, biarkanlah hamba pergi dari sini dengan damai”.
Bukan itu maksud hamba, tuan puteri, sahut Raden Wiralodra, seperti telah kukatakan, siapapun boleh menetap disini, Bumi disini seperti juga bumi yang lain adalah pemberian Tuhan untuk manusia, termasuk kita, janganlah tuan puteri berkecil hati. Maksud hamba hanya ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana cara tuan puteri menghadapi Eyang Pangeran Guru dan murid-muridnya, dan untuk itu hamba memberikan izin:.
Nyi Endang Darma menjawab “Jika demikian titah tuan hamba, hamba akan menjunjungnya, hanya saja hamba memohon dengan sepenuh hati agar persyaratan yang tuan hamba sebutkan tadi ditiadakan saja dan hamba mohon maaf sebelumnya, jika nanti terjadi hal-hal yang kurang senonoh dan tidak berkenan di hati tuan hamba”.
Selesai mengucapkan kata-kata itu Nyi Endang segera menyembah keluar menuju ke alun-alun. Pertama yang keluar sebagai penantang adalah Raden Tanujaya. Manakala ia sudah berhadapan dengan Nyi Endang Darma, berkatalah ia “Wahai wanita yang cantik rupawan, ketahuilah bahwa yang berdiri di hadapan tuan puteri adalah Tanujaya. Marilah kita bermain, jika tuan puteri kalah, maka tuan puteri harus menyerah untuk menjadi isteri hamba”.
Tanpa berkata sepatah kata pun Nyi Endang Darma bagaikan burung sikatan menerjang Raden Tanujaya sambil memukul dadanya. Raden Tanujaya laksana disambar petih jatuh tunggang langgang, tidak sadarkan diri.
Raden Tanujiwa yang melihat saudaranya jatuh terpelanting dan tidak sadar, dalam hatinya ia berkata “celaka kalau begini naga-naganya, akan tetapi ia tak sanggup menanggung malu kalau ia tidak maju menggantikan kakaknya.
Maka iapun keluar ke arena sambil bekata “Hai Nyi Endang Darma, kiranya tuan puteri benar-benar sakti mandaraguna, cobalah kini Raden Tanujiwa. Laksana banteng Ketaton Raden Tanujiwa menyerang Nyi Endang Darma dengan cara membabi buta. Secepat kilat Nyi Endang Darma mengelak ke samping sambil mengayunkan tinjunya yang tepat mengenai dada Raden Tanujiwa.
Akibatnya parah, berbeda dengan kakaknya yang jatuh terpelanting hingga tidak sadar, Raden Tanujiwa laksana kertas ditiup angin, terbang melayang jatuh dihadapan kakaknya Raden Wiralodra seperti sengaja dibuat demikian sebagai pemberitahuan bahwa anak muda yang masih hijau itu bukanlah lawannya.
Raden Wiralodra tersenyum geli melihat hal ikhwal saudaranya yang menganggap bahwa semua wanita itu adalah makhluk lemah yang bisa diperlakukan semaunya saja, maka ia pun berkata “Hai dinda, sungguh tak kusangka bahwa adinda bisa dikalahkan dengan begitu mudahnya oleh seorang perempuan. Alangkah malunya hati hamba membawa jago jauh-jauh dari Bagelen, datang kesini dapat dikalahkan oleh ayam betina hanya dengan satu kali pukulan saja.
Dikutip dari Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu Karya H. A. Dasuki (Tahun 1977).