Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu (Bagian Ke-9)

Ilustrasi Nyi Endang Darma (Gambar http://netroartsegeran.blogspot.co.id)

Setibanya di rumah Ki Tinggil, Nyi Endang Darma disambut oleh Raden Wiralodra dan dipersilakan duduk, Nyi Endang Darma segera menyembah dan duduk sambil menundukkan kepalanya, seakan-akan merasa takut menghadapi pandangan Raden Wiralodra. 

Raden Wiralodra Walaupun di dalam hatinya sangat mengagumi kecantikan Nyi Endang Darma dan merasakan adanya sesuatu yang aneh di dalam hatinya, namun perasaannya itu disembunyikannya, maka ia pun segera mulai percakapannya.

“Hamba ini tamu yang baru saja datang, akan tetapi hamba ingin sekali berjumpa dengan tuan puteri. Nyi Endang Darma segera menjawab “Duh gusti, hamba mohon beribu-ribu ampun, kedatangan hamba di pedukuhan ini bermaksud hendak menumpang hidup disini, bersawah dan berladang”. 

“Hamba akan mentaati segala peraturan yang berlaku disini. Ya itu tak mengapa, sahut Raden Wiralodra memohon kalimat Nyi Endang Darma. Sesungguhnya telah hamba perintahkan kepada Paman Tinggil, supaya memberi izin kepada siapapun yang ingin ikut bermukim disini dan mau bergotong-royong membangun pedukuhan yang masih baru ini”. 

“Hanya ada sesuatu hal yang hamba ingin mendengar langsung dari yang bersangkutan sendiri mengenai peristiwa meninggalnya Pangeran Guru bersama murid-muridnya. Ceritakanlah sebenar-benarnya asal mula terjadinya sengketa berdarah itu”. 

Dengan paras muka yang tenang, Nyi Endang Darma memulai ceritanya : Duh gusti, hamba berani bersumpah dengan menyebut nama Allah Yang Maha Kuasa, bahwa hamba berkata sebenarnya, adapun asal mula kejadian peristiwa berdarah itu ialah sebagai berikut : 

Pada suatu hari ketika hamba sedang bekerja di rumah, tiba-tiba hamba dikejutkan dengan kedatangan serombongan orang yang bersenjata lengkap dan berpakaian seperti orang yang akan berangkat ke medan perang. Menurut pengakuannya sendiri mereka itu adalah Pangeran Guru dari Palembang bersama murid-muridnya yang berjumlah 24 orang. 

Seperti biasanya sebagai tuan rumah yang kedatangan tamu, hamba terima mereka dengan sikap ramah-tamah. Akan tetapi tanpa lebih dahulu bertanya itu dan ini, Pangeran Guru yang menjadi pemimpin mereka, memaki hamba dan menuduh hamba yang bukan-bukan, yaitu hamba dituduh menentangnya. 

Karena hamba dituduh mengajarkan ilmu kesaktian kepada rakyat disini. Padahal sebenarnya hamba hanya memberi petunjuk kepada mereka bagaimana cara bercocok tanam yang baik dan bagaimana cara menjaga keamanan di kampung halaman. 

Hamba telah mencoba memberi penjelasan kepada beliau mengenai duduk persoalannya, akan tetapi tampaknya Pangeran Guru tak mau mengerti malahan memerintahkan kepada murid-muridnya untuk menangkap hamba. Duh gusti hamba mohon beribu-ribu ampun dalam keadaan demikian hamba terpaksa membela diri. 

Semua murid Pangeran Guru yang berjumlah 24 orang itu bangkit mengepung hamba dari segala penjuru serta menghujani hamba dengan pukulan-pukulan, bahkan dengan senjata. Salahkah kiranya kalau hamba berusaha untuk menyelamatkan diri dengan sebisa mungkin, sehingga menyebabkan tewas semua muridnya tersebut. 

Melihat hal tersebut Pangeran Guru naik pitam, meskipun hamba memohon agar persoalan itu diakhiri sampai disitu saja, Pangeran Guru bersitegang ingin melanjutkan pertempuran dan hamba pun terpaksa melayaninya hingga Pangeran Guru menemui ajalnya. 

Sebenarnya peristiwa berdarah tersebut tidak perlu terjadi, andaikata Pangeran Guru dapat menguasai emosinya yang meluap-luap. Sampai disitu Nyi Endang Darma mengakhiri ceritanya, kemudian menundukkan kepalanya kembali sebagai tanda sangat menghormati Raden Wiralodra. 

Dikutip dari Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu Karya H. A. Dasuki (Tahun 1977).
Next Post Previous Post