Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu (Bagian 5)
Makam Selawe Indramayu (Dok. Didno) |
Lambat laun tersiar kabar ke segenap pelosok, bahwa di hutan Cimanuk telah berdiri sebuah pedukuhan yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi. Maka secara berangsur-angsur datanglah pemukim-pemukim baru dari segenap penjuru, sehingga penduduk pedukuhan Cimanuk itu lambat laun menjadi banyak.
Setelah beberapa lama Raden Wiralodra dan Ki Tinggil membina pedukuhan itu dan penduduknya telah bertambah banyak, maka pada suatu hari Raden Wiralodra berkata kepada Ki Tinggil :
“Hai paman, rasanya sudah cukup lama aku pergi merantau meninggalkan kampung halaman serta keluargaku di Bagelen. Sehubungan dengan itu aku berhasrat ingin pulang mengunjungi ayah dan ibu yang sudah lama ditinggalkan dan sudah barang tentu mereka ingin mendengar bagaimana cerita perjalanan kita selama ini. Dan engkau paman tinggallah disini, bimbinglah rakyat dengan baik-baik supaya mereka rajin bercocok tanam. Jagalah keamanan serta kesejahteraan rakyat, kalau ada pendatang baru yang ingin bertempat tinggal disini, terimalah dengan senang hati dan berilah tanah secukupnya”.
Setelah selesai mengucapkan pesannya, maka Raden Wiralodra pun berangkat meninggalkan Ki Tinggil. Ki Tinggil hanya bisa memandangi Raden Wiralodra dengan wajah sayu hingga tuannya lenyap dari pandangannya.
Tidak diceritakan bagaimana perjalanan Raden Wiralodra menuju ke Bagelen. Singkat cerita Raden Wiralodra sudah tiba di Banyuurip tempat tinggal ayah dan ibunya. Maka Raden Wiralodra segera menghadap ke orang tuanya, kebetulan ayah dan bundanya sedang duduk-duduk dan bercanda dengan ketiga saudaranya yaitu Rade Wangsanegara, Tanujaya, dan Tanujiwa.
Mereka tercengang ketika tiba-tiba muncul Raden Wiralodra setelah sekian lamanya pergi meninggalkan kampung halamannya. Suasana tangis kegembiraan segera meliputi keluarga yang bahagia itul Setelah itu peluk cium terjadi seperti biasanya sebagai luapan rasa sono dan kasih sayang, kemudian mereka pun duduk di tempatnya masing-masing.
Setelah suasana menjadi tenang, maka ibundanya memulai membuka percakapan : “Hai engkau Wira, sungguh tak ibu sangka bahwa engkau akan kembali dengan selamat, cobalah ceritakan bagaimana pengalaman perjalananmu yang memakan waktu sekian lamanya mencari hutan Cimanuk.
Oleh Raden Wiralodra dipaparkan semua kisah perantauannya selama tiga tahun lebih itu dari awal sampai kepada akhirnya. Kemudian ayahnya berkata : “Hai anak-anakku, kini ayah telah berusia lanjut, kamulah kelak yang akan menggantikan ayah memerintah disini. Sekarang kalian telah berkumpul, ayah berharap janganlah pergi dari sini, agar kalian dapat belajar dari pengalaman ayah, bagaimana cara memerintah negara. Khususnya engkau Wiralodra, janganlah engkau tergesa-gesa kembali ke daerah Cimanuk sebelum disana penduduknya bertambah banyak. Raden Wangsanegara bersama keempat adiknya mendengarkan dengan tenang nasehat ayahnya".
Ki Tinggil yang ditinggal di hutan Cimanuk setiap hari bekerja keras memelihara ladangnya. Lambat laun banyaklah pendatang baru yang ingin ikut bermukim di pedukuhan Cimanuk itu yang disambut oleh Ki TInggil dengan segala senang hati sesuai dengan pesan tuannya.
Mereka pun mendirikan rumah-rumah baru setelah Ki Tinggil menunjukkan lokasi tempat dimana mereka membangun rumahnya, dan dimana pula mereka harus bercocok tanam. Palawija tumbuh dengan amat suburnya sehingga bagi para pemukim baru bahan makanan cukup tersedia tanpa ada sesuatu kekurangan.
Demikianlah dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu penduduk baru senantiasa bertambah jumlahnya sehingga mencapai lebih kurang seratus kuren atau kurang lebih 500 jiwa.
Ki Tinggil sangat senang hatinya menyaksikan penduduk yang bekerja dengan giat, rukun tentram, tak ada sesuatu yang menyulitkan keadaan. Harapannya hanyalah semoga tuannya segera kembali dengan tak kurang sesuatu apa pun.
Ki TInggil telah mempunyai pembantu-pembantu untuk mengurus rakyat sehari-hari, yaitu Surantaka, Bayantaka, Puspahita dan lain-lain.
Atas perintah Ki Tinggil yang telah diangkat menjadi lurah mereka mulailah rakyat membuat jalan-jalan, jembatan, saluran air dan gardu penjagaan.
Rakyatpun amat patuh kepada segala peraturan yang mereka buat sendiri dengan jalan musyawarah. Pendatang-pendatang baru terus mengalir, diantaranya terdapat seorang wanita yang cantik rupawan, datang dengan diirigi oleh dua pembantunya.
Mereka datang dengan membawa bibit-bibitan yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, seperti padi, jagung, pepaya dan sayur-sayuran, langsung menuju tempat kediaman Ki TInggil.
Ki Tinggil yang mengetahui ada tamu pendatang baru, segera mempersilakan tamunya masuk dan mengambil tempat duduk. Ki Tinggil segera menegur tamunya dengan ramah tamah.
Siapakah gerangan tuan hamba ini dan apa maksud tuan hamba datang kemari dan dari mana pula asal tuan hamba. Wanita cantik itu menjawab semua pertanyaan tuan rumah dengan sopan sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat. “Nama Hamba Endang Darma, sedang kedua pembantu hamba ini bernama Tana dan Tani.
Hamba datang dari pengembaraan untuk mencari tempat pemukiman yang baik. Hamba mendengar berita bahwa di lembah sungai Cimanuk ada orang membuka tanah yang subur untuk bercocok tanam, Itulah yang menarik hamba datang kemari, jika tuan mengizinkan hamba ingin turut bermukim disini sebagai rakyat Pak Lurah.
Dikutip dari Buku Sejarah Indramayu Karya H. A Dasuki 1977