Masjid Agung Indramayu Menjadi Pusat Kegiatan Keagamaan Sejak Tahun 1820
Masjid Agung Indramayu |
Beranjak dari menilik keberadaa sungai Cimanuk yang memiliki hulu di Kabupaten Garut dan hilir di Kabupaten Indramayu, sepertinya dari situlah awal sejarah kebudayaan yang saling mengikat dalam perkembangan jaman.
Sungai di sebuah merupakan tempat aktivitas setiap masyuarakat dalam menumbuhkan kebudayaan di suatu daerah. Keberadaan Indramayu, yang dilintasi Sungai Cimanuk sempat tumbuh menjadi pelabuhan besar di era kerajaan maupun kolonial.
Bila menyusuri jalan di bantaran Sungai Cimanuk yang terletak di Indramayu, akan dijumpai banyak bangunan tua era kolonial. Bangunan-bangunan tersebut, merentang di sepanjang Jalan Siliwangi-Jalan Veteran, Kecamatan Indramayu.
Tidak jauh dari jembatan yang ada di Jalan Veteran, akan terlihat juga bangunan Masjid Agung dan Pendopo Pemkab Indramayu.
Ketua Indramayu Historia Foundation, Nang Sadewo mengatakan, Masjid Agung dan Pendopo Pemkab telah ada semenjak tahun 1820. Khusus untuk pendopo, pada masa itu berfungsi sebagai kantor kademangan. Pendopo menjadi pusat pemerintahan fase kedua dalam sejarah Indramayu.
“Pusat pemerintahan Indramayu itu, pertamanya ada di Desa Dermayu, Kecamatan Sindang. Tercatat telah ada semenjak tahun 1613. Namun setelah Belanda hadir pada tahun 1620, pusat pemerintahan dipindahkan ke area pendopo sekarang,” ujarnya.
Perpindahan tersebut, kata dia seiring perkembangan Sungai Cimanuk yang difungsikan sebagai pelabuhan untuk bongkar muat komoditas. Menurut dia, Sungai Cimanuk di area pendopo sempat berfungsi sebagai pelabuhan komoditas mulai sekitar tahun 1500.
Kemudian pada tahun 1772, kejayaannya perlahan surut seiring terjadi perang antara tiga pihak, yakni Belanda, Kerajaan Mataram, dan Kerajaan Banten.
Menurutnya, pada tahun tersebut fungsi pelabuhan yang semula dipakai sebagai tempat bongkar muat komoditas, berubah menjadi tempat suplai persenjataan perang. Perubahan fungsi itulah yang, menurutnya membuat kejayaan pelabuhan Cimanuk berangsur-angsur memudar.
Nang Sadewo mengatakan, puncak kejayaan Bandar Cimanuk adalah pada tahun 1513. Pada tahun tersebut, banyak kapal-kapal pedagang dari beragam wilayah, mulai dari Cina, Mataram, sampai Batavia.
“Jejak sejarah itu terekam dari berbagai sumber. Mulai dari naskah kuno, litografi, serta beberapa buku-buku berbahasa belanda. Beberapa bahan tersebut ada di Leiden, Belanda,” ujarnya.
Dia mengatakan, terdapat salah satu bangunan yang masih ada sampai kini, dan bangunan tersebut menandakan adanya pelabuhan pada era kolonial dulu. Gedung tersebut kini berfungsi sebagai perkantoran BPR. Dia menjelaskan, bangunan itu merupakan peninggalan Belanda pada tahun 1813.
“Pada masa kolonial, bangunan itu dijadikan kantor biro maritim Belanda,” tuturnya.
Menurut dia, meski pada tahun 1772 fungsi pelabuhan utama perlahan menyurut, namun pelabuhan-pelabuhan kecil masih berfungsi sampai sekitar tahun 1940-an. Hingga akhirnya pada era 1950, Bandar Cimanuk akhirnya ditutup untuk aktivitas perdagangan seperti sebelumnya, karena sungainya sering menimbulkan banjir.
Penulis: Dwi Ayu
Sumber: Cirebontrust