50 Persen Pantai Indramayu Terkena Abrasi
Indramayu - Abrasi terus mengancam garis pantai di Kabupaten Indramayu. Kondisi itu pun mengancam rumah maupun lahan sawah milik warga yang berdekatan dengan pantai.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu Aep Surahman menjelaskan, total panjang garis pantai di Kabupaten Indramayu mencapai 147 kilometer. Dari panjang tersebut, 50 persen di antaranya terkena abrasi.
‘’Sekitar 70 kilometer pantai di Indramayu yang terkena abrasi,’’ ujar Aep, Senin (2/3).
Adapun pesisir pantai yang tergerus abrasi itu, di antaranya tersebar di Kecamatan Juntinyuat, Krangkeng, Indramayu, Pasekan, Losarang, Kandanghaur, Sukra dan Patrol.
Aep mengatakan, abrasi terjadi karena pengaruh faktor alam dan maupun aktifitas pembangunan. Untuk faktor alam, di antaranya akibat karakteristik pantai di Indramayu yang berupa aluvial sehingga lapisan tanahnya gembur. Kondisi tersebut menyebabkan pantai akan terkikis jika terkena gelombang tinggi.
Aep menambahkan, faktor penyebab lain terjadinya abrasi adalah rusaknya hutan mangrove yang berfungsi sebagai penahan abrasi. Tak hanya itu, pembangunan yang menjorok ke laut dan pencemaran laut juga menjadi faktor penyebab terjadinya abrasi.
Untuk pencemaran laut, awalnya akan menyebabkan tanaman mangrove menjadi mati. Saat tanaman mangrove mati itulah, menyebabkan tak ada lagi penahan abrasi pantai.
Aep mengungkapkan, untuk mengatasi abrasi, maka bisa dilakukan upaya vegetasi dan sipil teknis. Untuk vegetasi, dilakukan dengan cara menanam kembali hutan mangrove. Sedangkan cara sipil teknis, dengan membangun break water atau tembok penahan ombak.
‘’Kami sangat mengharapkan kesadaran masyarakat untuk tidak merusak tanaman mangrove karena perannya yang sangat besar dalam mencegah abrasi,’’ tegas Aep.
Menurut Aep, dampak dari abrasi selama ini telah membuat rumah-rumah waga maupun lahan usaha warga, seperti misalnya sawah, menjadi hilang. Begitu pula dengan biota laut yang mengalami kerusakan sehingga menyulitkan nelayan dalam mencari ikan.
Dampak abrasi itu seperti yang dialami warga di Blok Kemisan, Desa Dadap Wetan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Di daerah tersebut, sekitar sembilan unit rumah warga hilang terkena abrasi pada 2007 silam.
‘’Abrasi mulai terjadi sejak dibangunnya pelabuhan ikan di Desa Dadap pada 2005 lalu,’’ ujar mantan ketua RT 03 RW 03 Desa Dadap Wetan Wasikin.
Wasikin menjelaskan, sebelumnya jarak antara pantai dan pemukiman warga dua kilometer. Namun saat ini, jarak antara pantai dan pemukiman warga hanya sekitar 50 meter.
Seorang warga setempat, Ramida mengatakan, kini selalu dilanda ketakutan jika musim ombak tinggi tiba. Pasalnya, ombak akan masuk ke dalam rumah.
‘’Saya takut rumah akan ambruk terkena ombak seperti rumah warga lainnya,’’ tutur Ramida.
Ketakutan serupa juga disampaikan seorang warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Durniya. Dia menyebutkan, abrasi yang melanda pesisir Patrol sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Saat ini, abrasi semakin parah dan mengancam sawah-sawah milik warga yang ada di pinggir pantai.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu Aep Surahman menjelaskan, total panjang garis pantai di Kabupaten Indramayu mencapai 147 kilometer. Dari panjang tersebut, 50 persen di antaranya terkena abrasi.
‘’Sekitar 70 kilometer pantai di Indramayu yang terkena abrasi,’’ ujar Aep, Senin (2/3).
Adapun pesisir pantai yang tergerus abrasi itu, di antaranya tersebar di Kecamatan Juntinyuat, Krangkeng, Indramayu, Pasekan, Losarang, Kandanghaur, Sukra dan Patrol.
Aep mengatakan, abrasi terjadi karena pengaruh faktor alam dan maupun aktifitas pembangunan. Untuk faktor alam, di antaranya akibat karakteristik pantai di Indramayu yang berupa aluvial sehingga lapisan tanahnya gembur. Kondisi tersebut menyebabkan pantai akan terkikis jika terkena gelombang tinggi.
Aep menambahkan, faktor penyebab lain terjadinya abrasi adalah rusaknya hutan mangrove yang berfungsi sebagai penahan abrasi. Tak hanya itu, pembangunan yang menjorok ke laut dan pencemaran laut juga menjadi faktor penyebab terjadinya abrasi.
Untuk pencemaran laut, awalnya akan menyebabkan tanaman mangrove menjadi mati. Saat tanaman mangrove mati itulah, menyebabkan tak ada lagi penahan abrasi pantai.
Aep mengungkapkan, untuk mengatasi abrasi, maka bisa dilakukan upaya vegetasi dan sipil teknis. Untuk vegetasi, dilakukan dengan cara menanam kembali hutan mangrove. Sedangkan cara sipil teknis, dengan membangun break water atau tembok penahan ombak.
‘’Kami sangat mengharapkan kesadaran masyarakat untuk tidak merusak tanaman mangrove karena perannya yang sangat besar dalam mencegah abrasi,’’ tegas Aep.
Menurut Aep, dampak dari abrasi selama ini telah membuat rumah-rumah waga maupun lahan usaha warga, seperti misalnya sawah, menjadi hilang. Begitu pula dengan biota laut yang mengalami kerusakan sehingga menyulitkan nelayan dalam mencari ikan.
Dampak abrasi itu seperti yang dialami warga di Blok Kemisan, Desa Dadap Wetan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Di daerah tersebut, sekitar sembilan unit rumah warga hilang terkena abrasi pada 2007 silam.
‘’Abrasi mulai terjadi sejak dibangunnya pelabuhan ikan di Desa Dadap pada 2005 lalu,’’ ujar mantan ketua RT 03 RW 03 Desa Dadap Wetan Wasikin.
Wasikin menjelaskan, sebelumnya jarak antara pantai dan pemukiman warga dua kilometer. Namun saat ini, jarak antara pantai dan pemukiman warga hanya sekitar 50 meter.
Seorang warga setempat, Ramida mengatakan, kini selalu dilanda ketakutan jika musim ombak tinggi tiba. Pasalnya, ombak akan masuk ke dalam rumah.
‘’Saya takut rumah akan ambruk terkena ombak seperti rumah warga lainnya,’’ tutur Ramida.
Ketakutan serupa juga disampaikan seorang warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Durniya. Dia menyebutkan, abrasi yang melanda pesisir Patrol sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Saat ini, abrasi semakin parah dan mengancam sawah-sawah milik warga yang ada di pinggir pantai.
Penulis: Lilis Handayani
Sumber: REPUBLIKA.CO.ID