BABAD INDRAMAYU part 2
Kerajaan Siluman Pulo Mas
Di tanah datar dan luas itu Aria Wiralodra dan Ki Tinggil membuat pondok untuk tempat tinggal, kemudian mulailah pekerjaan besar membuka hutan. Suasana menjadi berubah dari kesunyian menjadi hingar bingar dengan runtuhnya pohon-pohon dan suara-suara binatang penghuni hutan yang ketakutan.
Keadaan menjadi lebih hiruk-pikuk dengan suara teriakan-teriakan marah bangsa makhluk
halus yang ketenteramannya merasa diusik.
Mereka langsung menyerang Serat Babad Dermayu melukiskannya dalam bentuk Macapat Pupuh Sinom: Sampun andamel kang wisma Ki Tinggil damelan neki Anulya amesuh raga Raden Wiralodra mangkin Anggene babad wanadri Sima banteng warak wau Mapan bibar katawuran Paribasa panas atis Setan iblis prayangan bibar sedaya Senapatt Budipaksa Miwah Patih Bubarawis Angumpul sabalanira Miwah para kang prqjurit Kaliyan saking Tuk Giri Gede muara Cimanuk Kalangkung sanget dukanya
Saking bala bubar mangkin Kenging Raden Wiralodra babad wana Siluman lan jurubiksa Sakehe para dedemit
Saking gedeng Girimuka Sadaya pan sami dugi Sangking Wangkang Bqjulrawis Cemara pan Giribqjid
Tempalang Bedawangkara Pan rame Pqjuning Jurit Sami tempuh ing yuda lan Wiralodra
Keributan antara Aria Wiralodra dengan makhluk halus itu diketahui oleh penguasa Lautan Selatan Nyi Mas Dewi Ratu Kidul, yang segera mengutus Kalacungkring, hulubalang dari Tunjung Bang, untuk menyelesaikan perselisihan.Sang Hulubalang segera menemui Raja Pulo Mas Werdinata.Di bawah ini, lagi satu bait lainnya dari Serat Babad Dermayu (Macapat Pupuh Sinom):
Dugi anang Werdinata
Aja pada den ganggoni
Iku Raden Wiralodra
Krana turun Majapahit
Becik den raksaha iki
Pada akunen sedulur
Krana masih pernah canggah
Ratu Kidul Gusti mami
Nulya enggal Werdinata caos ngarsa
Bergegas Raja Werdinata menghadap Aria Wiralodra.Sementara itu . melihat rajanya datang, seluruh bala siluman duduk di tanah.Sambil berlutut. berkata Raja Werdinata:
“Raden! Maafkan kelancangan wadyabalaku.Aku.…Werdinata. Raja Pulo Mas Muara Sungai
Cimanuk menghaturkan salam bhakti.”
Masih dalam keheranan, Aria Wiralodra menjawab: “Werdinata! Bangunlah ! Akusungguh sangat gembira berjumpa denganmu dan aku maafkan para prajurit yang memerangiku”.
Sambil bangun Raja Werdinata berkata:“Terima kasih, kulihat Raden begitu tulus,maka aku mohon sukalah Raden bermurah hati untuk mengangkat saudara denganku seketurunan masing-masing.
”Aria Wiralodra terdiam, kemudian katanya lembut, “Werdinata, pahami kesulitanku,
karena menurut ketentuan agama yang aku anut yaitu Islam tidak bisa mengangkat saudara
dengan yang bukan Agama Islam.”Di luar dugaan, cepat Raja Werdinata menjawab: “Raden, Islamkan aku sekarang juga!” Aria Wiralodra terperanggah kemudian katanya gembira: “Subhanallah! Baiklah, Paman Tinggil jadi saksi. Kemarilah Werdinata!”
Sambil melangkah maju, Raja Werdinata berseru kepada Wadyabalanya: “Kepada rakyatku yang akan masuk Agama Islam,duduk di belakangku!” Maka seluruh Wadyabala Siluman bergeser dan duduk bersimpuh di belakang Sang Raja. Setelah upacara peng-Islaman dan pengangkatan
saudara selesai, Aria Wiralodra berkata nyaring:
“Raja Werdinata sejak saat ini menjadi Sultan Werdinata, daerah kekuasaannya dinamakan Kasultanan dan rakyatnya disebut Bangsa Jin.”Kemudian sambungnya lembut pada Sang Sultan: “Pengangkatan Sultan ini harus disyahkan oleh kekha-lifahan bangsa Jin di Turki, mintalah ke sana, kapan saja engkau ada waktu.”
Setelah minta ijin kepada Aria Wiralodra, Sang Sultan menyuruh rakyatnya bubar, sehingga tinggallah mereka bertiga.Kemudian kepada Sang Sultan, Aria Wiralodra menceritakan asal-usul dirinya. Setelah itu dia berkata:
“Saudaraku Sultan, sekarang ceritakan asal-usulmu!”
Maka Sultan Werdinata membuka kisahnya:
“Raden, aku adalah Qarin-pendamping dari seorang kesatria berbudi luhur-yang bernama Jaran Sari pada tiga abad yang lalu, yaitu pada masa awal kerajaan Majapahit. Jaran Sari ikut perlombaan ilmu Kanuragan Kerajaan untuk memperebutkan putri raja dan Pangkat Senopati Agung.
“Dia memenangkannya, tetapi karena kelicikan saudara kembarnya yang bernama Jaran Purnama, dia tewas. Aku bersumpah untuk tidak meninggalkan jasadnya sebelum menjadi rusak. Kemudian ‘aku’ dilarung di atas rakit ke sungai, lalu ke laut, yang akhirnya terdampar di dekat muara sungai Cimanuk.Aku melihat banyak sebangsaku di sana yang beramai-ramai menyeretku ke tepi pantai,mereka tidak melihatku, kemudian mereka melapor kepada Sang Penguasa Ki Buyut Keci di Dalem Agung Pulo Mas.
“Tidak berapa lama datanglah dia dan langsung melihatku seraya berkata, ‘Menyatulah dan
bangunlah anakku!’
“Setelah aku bangun dia berkata: ‘Namamu sekarang Werdinata. Engkau akan kukawinkan dengan anakku Si Andayasari, yang telah mimpi jadi jodohmu. Tak usah khawatir, engkau pasti
suka, anakku sangat cantik.’ Dan kata-kata Ki Buyut Keci benar; putrinya sangat cantik , lalu
aku kawin. Kemudian aku dijadikan Raja Pulo Mas*), menggantikan mertuaku Ki Buyut Keci.
Catatan KakiLetak Bangunan Istana Agung Pulo Mas di Kramat Krapyak-Pulo Mas, Sentigi Kulon.
Tepatnya dari jalan utama antara Sentigi Kulon-Cangkring. Pada blok Karang Balong, ada jalan
masuk ke arah tenggara di tepi Kali Kepiting ;ditandai dengan sebuah gumuk pepohonan
betah satu rumpun dengan pohon beringin.Keraton Kaputren Nawang Wulan terletak di Pulo Karas, 1 Km ke arah timur Pulo Mas sebelum Pulo Kuntul. Jalan menuju Pulo Karas bisa langsung dari Sentigi Wetan atau Sentigi Sawah. (Ki Jongkara tinggal juga di sini).
Keraton Kaputren Wiragora terleak di muara sungai Cimanuk (Ki Budi Paksa juga tinggal di
sini).“Dalem Agung Pulo Mas aku bangun menjadi bentuk istana yang besar, seperti Istana Majapahit. Peme-rintahanku meniru Kerajaan Majapahit, Wilayahku diperluas sehingga meliputi pantai dan hutan rawa, serta sungai-sungai yang mengalir ke pantai Laut Jawa bagian barat.
“Aku punya anak perempuan dan laki-laki yang kuberi nama Nawang Wulan dan Wiragora. “Itu saja Raden perihal diriku.”
Pengakuan Dari Galuh Nagari
Beberapa minggu setelah membuka hutan dan menanam palawija Pondok Aria Wiralodra kedatangan tamu tujuh orang, dari Dukuh Bungko secara bersama-sama. Berturut turut bernama: Pulaha, Wanasara, Bayantaka,Puspahita, Jayantaka, Surantaka, dan Puspataruna.
Mereka bercerita, bahwa kakek dan ayah mereka bermukim tidak jauh dari tempat ini, sebagai petani, peternak dan nelayan.Tanahnya subur dan ikannya melimpah, tetapi,mereka selalu ketakutan oleh gangguan jurubiksa dari muara Sungai Cimanuk.
Sekalipun sudah banyak sesaji tetapi tetap saja diganggu, bahkan pada siang hari sering memperlihatkan diri. oleh karena itu mereka pindah.
Seminggu yang lalu mereka mendengar dari si pemberani Pulaha, yang sedang berburu rusa, bahwa ada yang sedang membuka hutan di dekat bekas pemukiman kakeknya. Mereka ingin menanyakan, apakah para pembuka hutan tidak diganggu prayangan?
Aria Wiralodra menceritakan apa yang terjadi dan menjamin mereka tidak diganggu kalau mereka mau tinggal di sini. Maka hanya dalam waktu satu tahun penduduk telah mencapai
200 jiwa. Kemudian dibentuklah pemerintahan lokal dengan Ki Tinggil sebagai lurah, dibantu oleh para bakusuku, yaitu: Pulaha, Puspahita,Wanasara, Bayantaka, Surantaka, dan Puspataruna.
Selesai mengatur pimpinan dusun, Aria Wiralodra pergi ke Galuh Nagari, di kaki Gunung Cereme, menghadap “Gubernur”Pajajaran wilayah timur, Hyang Prabu Cakraningrat. Aria Wiralodra diterima di Istana oleh Sang Gubernur dengan sangat ramah. Setelah Aria Wiralodra menguraikan jati-dirinya, Sang Prabu berkata: “Wiralodra, aku senang engkau menghadapku. Aku tidak menduga hutan Cimanuk telah berpenduduk lagi. Lebih dari setahun pelabuhan Cimanuk ditinggal pergi begitu saja oleh syahbandar dari pusat kerajaan Pajajaran, sehingga kini menjadi tanggung jawabku, tetapi aku belum siap dengan orang-orangku,”
Berhenti sebentar, kemudian lanjutnya:
“Berapa rakyatmu di sana sekarang?”
“Seratus sembilan puluh lima orang, termasuk anak-anak, Yang Mulia.”
“Cukup,” kata Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu memanggil Patih Bangong.
Katanya: “Paman Patih, persiapkan penobatan Adipati Praja Cimanuk besok di Balairung !”
Lalu katanya kepada Aria Wiralodra: “Sekarang istirahatlah!”
Setelah Aria Wiralodra menyampaikan terima kasih atas kepercayaannya, dia diantar dayang
dayang ke Wisma Dalem.Sementara itu , dipimpin oleh Mantri Dipasara,balairung dipersiapkan untuk upacara besar.Keesokan harinya, di balairung Istana Galuh Nagari, pelantikan dilaksanakan dan berlangsung sangat megah.
Aria Wiralodra mendapat gelar Aria Indrawijaya dari Hyang Prabu Cakraningrat. Kemudian Sang
Indrawijaya diiring Patih Bangong, Senapati Surabangsa dan Mantri Dipasara menuju tempat duduk para Sang Hyang untuk menerima restu dari Sang Hyang Pande Wawangi, Sang Hyang Sutem, Sang Hyang Pundi Wungsi, Sang Hyang Egal, Sang Hyang Gempol,Sang Hyang Dora dan Sang Hyang Bugel.
Upacara berlanjut dengan kesenian sampai siang hari (ini terjadi pada tahun 1432 Saka atau 1510M).
Setelah semua acara usai, Aria Wiralodra mohon diri. Bersama Aria Danujaya dari Istana Galuh Nagari, yang akan menjabat sebagai Patih, merekapun berangkat.
Lontar Babad Darma Ayu (abad ke XV M)
mengenai peristiwa ini menulis :
Bismillahir rokhmanir rokhim
Aum awignan astu
Akala noma Prabu Cakraningrat
Hong jian siwah bqja
Bayanalca tamar swana maswala
Mara sia jama sujana manta slano slaha
Ahang kona restikane sedia hayu
Swan Wiralodra peparab Indrawijaya
Setiba di Dukuh Cimanuk, Aria Wiralodra mengu-mumkan bahwa mulai saat ini Dukuh Cimanuk menjadi daerah Keadipatian Galuh Nagari dan dia ditunjuk sebagai Sang Adipati.
Lontar yang sama menulis lebih lanjut sebagai berikut:
Akyana ataking srana
Wiralodra mangun nagri
Dukuh Cimanulc namanya
Sakulon Cimanuk kali
Aparawira hireki
Mangadi sentana wau
Raja Galuh Cakraningrat
Prabu Angukus Prqja Sri
Apta aswara ing candra sangkala nira
Awit wijiling locana
Bermara angleng ing tawing
Kang lembu pedet nusunya
Jong layar semengkeng wukir
Kuda ngerap pandengan ing
Candraning sengkala taun
Amangun nagara Nira
Nulya Wiralodra kaki
Hqjejuluk Prabu Indrawijaya
Raja Galuh Gusti Nira
Danujaya apepatih
Pulaha Lan Wanasara
Bayantaka Surantaki
Puspataruna tumali
Puspahita Bahusuku
Ki Tinggil kang dadi lurah
Sedaya samiya prapti
Nulya den tilar Gusti nira caos jeng Rama
Tamu Agung dari Kerajaan Palembang
Setelah secara resmi Aria Wiralodra menjadi penguasa Praja Cimanuk, dia akan melapor kepada Sultan Demak. Maka pada suatu hari,Sang Penguasa memanggil KiTinggil, katanya:
“Paman, aku bermaksud akan pergi ke Bagelen, sudah terlalu lama meninggalkan Ibu dan Rama. Sementara tinggallah Paman di sini.Bila datang orang mau berladang atau berkebun, Paman terimalah. Aturlah di mana mereka ditempatkan dan bantulah bergotong royong membuat rumahnya. Jangan sampai ada yang ditolak.”
“Raden,” sahut KiTinggil, “Painan harap jangan terlalu lama. Karena apabila penduduk makin
bertambah-tambah juga, maka Paman Tinggil akan terlalu sibuk.”
“Paman,” Aria Wiralodra memberi petunjuk,
“apabila penduduk belum mencapai 500 orang Paman yang menjadi lurah dan angkatlah beberapa bakusuku sesuai kebutuhan.Sedangkan bila lebih banyak lagi, angkatlah lurah sesuai ketentuan, tetapi sesaat sebelumnya Paman kuangkat jadi demang secara langsung tanpa menunggu aku.”
“Akan Paman laksanakan,” sahut Ki Tinggil.
Kemudian Aria Wiralodra minta Ki Tinggil bijak dan hati-hati menjaga penduduk.
Setelah siap segala sesuatu yang akan dibawa,maka berangkatlah Aria Wiralodra menuju Demak untuk memberi laporan, kemudian baru ke Bagelen.
Sepeninggal Aria Wiralodra, pendatang-pendatang baru menjadi makin bertambah banyak. Rombongan demi rombongan datang dari berbagai dusun yang jauh di sebelah timur seperti Junti dan lain-lain.
Maka hanya dalam beberapa bulan saja Praja Cimanuk telah mencapai cacah jiwa 500 orang.
Hal ini bisa dimaklumi karena kesuburan tanahnya mulai dikenal, akibat lumpur dan humus yang dibawa oleh banjir bandang sungai Cimanuk masa lampau.
Perumahan mulai diatur menurut pola Kotapraja di Majapahit, jalan-jalan besar kecil lurus-lurus dengan gardu-gardu penjagaan di tiap mulut jalan masuk.
Penduduk bersuka-cita dengan peraturan-peraturan yang rapih dan hidup dalam serba kecukupan.
Maka pada suatu hari, datanglah ke rumah Ki Tinggil, seorang wanita langsing, berkulit kuning langsat, yang cantik luar biasa, dengan pengiringnya sepasang suami istri, menggotong padi dan gundem. Mereka diantar oleh penjaga gardu yang setelah menunjukan rumah Ki Tinggil segera kembali ke tempat tugasnya.
Ki Tinggil yang kebetulan ada di rumah, segera menyambut, katanya: “Nyai dan pengiringnya
silahkan masuk!”Setelah duduk, kembali Ki Tinggil berkata:
“Bagi tamu yang baru datang, bolehkah Paman mendapat tahu nama, asal serta maksud
kedatangan Nyai?”
“Paman,” sahut wanita itu , “namaku Endang Darma dan pengasuhku ini bernama Ki Tana dan Nini Tani. Kami pengembara dan bermaksud, kalau diperbolehkan ingin melihat tanah di sini untuk berkebun atau berladang.”
KiTinggil segera menjawab: “Nyai Endang serta engkau Tana dan Tani, dengan senang hati kami terima. Silahkan mau pilih tanah di mana saja, di sebelah barat sungai yang sudah berpenduduk atau sebelah timur. Sungguh sayang sekali Gustiku Raden Aria Wiralodra sedang ke Bagelen, tetapi begitulah perintahnya agar semua pendatang harus diterima.”
Ki Tinggil melihat kekecewaan di wajah tamu cantiknya. Tentu saja pikirnya, ini sebab “tiadanya Gustiku tadi”. Oleh karena itu Ki Tinggil makin curiga siapa tamunya kali ini,karena terlalu jelas kebangsawanannya. Ki Tinggil mengharap semoga akan menjadi garwa gustinya.
Dia agak terkejut karena lamunannya dipecah suara Nyi Endang Darma: ‘Terima kasih Paman,
kami akan segera mencari sendiri dan nanti kami akan melaporkannya.”
Pujian dan angan-angan Ki Tinggil dilukiskan dalam Babad Dermayu/macapat Pupuh Sinom:
Ayu mulus kang salira Mandanapa gusti mami
Kangge garwane bendara Nanging benjing
ndara mami Yen ngrawui anang riki Tamtu aku
nuli matur Manda bungae Bendara Ningali
wong ayu luwih
Mapan sampun Endang Darma damel wisma
Nyi Endang Darma memilih tanah di sebelah timur sungai agak jauh ke utara. Kemudian minta diijinkan untuk mendirikan rumahnya yang terpencil di sana.
Karena Ki Tinggil mempunyai gagasan “calon garwa gustinya” maka permintaan Nyi Endang
Darma dikabulkan.Pilihan tanahnya tepat, karena ternyata beberapa bulan kemudian ladangnya lebih unggul dari yang lain. Maka banyaklah orang-orang tani minta petunjuknya. Di luar dugaan
orang banyak, Nyi Endang Darma adalah pula seorang pendekar wanita, guru silat. Maka pada akhirnya lebih banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru silat dari pada belajar bercocok tanam.
Hal ini membuat tambahan teka-teki bagi Ki Tinggil, siapa sebenarnya Nyi Endang Darma ini. Namun demikian Ki Tinggil, merasa senang karena silat adalah bagian dari ilmu bela negara, bila kelak diperlukan. Oleh karenanya Perguruan Silat Nyi Endang Darma mendapat dukungan Pemerintah Ki Lurah Tinggil.Maka pada suatu hari, dengan tidak diduga merapatlah di dermaga Sungai Cimanuk sebuah kapal Kerajaan Palembang yang cukup besar Kecurigaan kapal tersebut dikuasai perompak dapat dimengerti, karenaberita perompakan di laut sering terjadi. Makasetelah Ki Tinggil mendapat laporan, dengan cepat barisan penduduk bersenjatakan tombak
dan panah yang dipimpin oleh bahusukunya masing-masing, membuat setengah lingkaran terhadap dermaga, Ki Tinggil sendiri memimpin pasukan induk di tengah-tengah.
Tidak berapa lama, keluarlah tiga orang utusan dari kapal yang segera disambut oleh Ki Pulaha. Salah seorang utusan itu berkata dengan nyaring: “Gusti Sepuh mantan Sultan Palembang, Pangeran Guru Arya Dila ingin bertemu dengan pesirah dusun ini!”
Ki Tinggil terkejut mendengar disebutnya nama Pangeran Guru Arya Dila. Maka katanya:
“Pulaha mundurlah, aku akan menemuinya!”Sementara Ki Tinggil keluar dari barisannya,
Aria Dila pun keluar dari kapalnya. Lalu bertemu di tepian dermaga. Setelah saling memberi hormat dan bicara sebentar, Aria Dila dan Ki Tinggil masuk ke dalam kapal.
Sepemakan nasi kemudian Ki Tinggil telah keluar lagi dari kapal.
Dengan isyarat tangannya para bahusuku segera berkumpul, kemudian katanya singkat:
“Bubarkan seluruh lasykar dan semua bahusuku segera berkumpul di rumahku!”
Dengan tidak menunggu lagi Ki Tinggil bergegas pulang.
Dalam waktu yang singkat semua bahusuku telah berkumpul. Maka segera berkata Ki Tinggil: “Duduklah saudara-saudaraku! Karena apa yang akan kusampaikan ini kisahnya agak panjang.”
Dengan gelisah para bahusuku menanti apa yang akan diutarakan lurahnya.
Kemudian Ki Tinggil melanjutkan ceritanya:
“Jadi, benarlah yang tadi keluar dari kapal itu adalah mantan Sultan Palembang, yang aku mengenalnya sebagai Pangeran Guru Aria Dila.Dia adalah putra Raja Majapahit Prabu Wikrama Wardana dengan selir Putri Cina yang bernama Endang Sasmitapura.
“Pangeran Aria Dila diangkat oleh Sang Prabu jadi ‘Raja’ Palembang dan mendapat selir Putri
Cina yang sedang mengandung, yang ketika lahir di Palembang diberi nama oleh ibunya JinBun, tetapi oleh Pangeran Aria Dila diberi nama Raden Fatah.
“Beliau juga terkenal sebagai pendekar silat sejak remaja dan menjadi guru besar Perguruan Silat disamping sebagai Sultan Palembang.
“Membantu Raden Fatah setelah dewasa,Pangeran mendirikan Kerajaan Islam Demak dengan pengerahan tenaga-tenaga ahli dan prajurit-prajurit Palembang secara besar-besaran.
“Pangeran kemudian turun tahta, dipecat oleh Majapahit Sang Prabu Girindrawardana atas tuduhan merebut istri orang dan memihak musuh Majapahit, yaitu Demak. Sekarang Pangeran Aria Dila dalam perjalanan pulang ke Demak dan singgah ke tempat kita, Dusun Cimanuk, dengan tujuan menangkap Nyi Endang Darma. Tuduhannya, ‘melanggar hukum persilatan’ yaitu mengajarkan silat untuk para wali, raja -raja dan para pangeran kepada rakyat biasa apalagi penduduk dusun-hutan.’
“Aku tidak mengerti, entah darimana Pangeran Guru mengetahui bahwa di Dusun Cimanuk ini ada guru silat wanita mengajarkan jurus-jurus silatnya sama dengan silat perguruan sang guru.
“Sebelum kapalnya sandar, kemaren, seorang murid utamanya diturunkan dari kapal dengan
perahu dayung untuk mencuri lihat murid-murid Nyi Endang Darma berlatih silat.
Hasilnya meyakinkan, benar silatnya sama.“Menurut silsilah keluarga, Pangeran Guru Aria Dila,
adalah kakek samping Gusti kita Aria Wiralodra. Aku membujuk, bahwa Nyi Endang Darma seorang muslimah yang taat dan sangat kasih kepada sesama. Suka menolong dan membela yang benar, bila ada terjadi perselisihan di antara rakyatku. Pada akhirnya dia memberi kesempatan, lolos dari hukuman mati apabila memberi penjelasan siapa nama gurunya.
“Aku putus asa, karena aku yakin Nyi Endang,hanya mau membuka rahasia, kepada Gusti
kita.
“Akupun tidak bisa mengetahui jati diri dan tujuannya.”
Ki Tinggil kemudian merenung cukup lama lalu katanya: “Aku tahu. Nyi Endang bukan hanya
pesilat ulung, tetapi juga punya kesaktian kelas satu. Lihatlah kedua pengiringnya Ki Tana dan Nini Tani, berdua adalah sepasang pendekar yang sulit dicari tandingannya.
Secara tidak sengaja aku melihat mereka berlatih. Tetapi aku masih merasa Pangeran Guru bukan tandingan Nyi Endang.
“Maka kalau Nyi Endang kena ditangkap Pangeran Guru, aku sangat kecewa. Secara jujur aku ingin membantunya melawan Pangeran Guru.
“Selain itu melihat besarnya kapal mereka,lasykar yang dibawa sekitar seratus orang dan ini seimbang dengan kekuatan murid Nyi Endang Darma.”
Di pihak Palembang, mereka adalah prajurit ahli perang yang juga pesilat-pesilat. Di pihak Nyi Endang, mereka jua pesilat-pesilat yang tangguh yang secara langsung dibawah pimpinan Tri Tunggal.
Ki Tinggil diam sebentar, kemudian bertanya:
“Saudara-saudaraku, apa pendapat kalian ?”
Mendapat pertanyaan seperti itu semua bahusuku terdiam, kemudian sekali Pulaha berkata: “Ki Lurah, apakah tidak lebih baik kita menyusul Gusti Aria Wiralodra?”
Ki Tinggil mengangguk, katanya: “Pulaha benar, cuma saja laporan kepada Gustiku haruslah lengkap,harus sudah ada kepastian bagaimana akhir persoalan ini. Perjalanan ke Bagelen akan
memakan waktu, sehingga tidak menolong persoalannya. Maka terpaksa kita menunggu dan melihat saja.
jadi kepada Pangeran Guru aku telah menyatakan para petinggi dusun tidak akan mencampuri persoalan selagi tidak menjadi rusuh dan baru akan bertindak bila warga dusun kami terancam dan Pangeran Guru hanya memandangku dengan tersenyum Pada saat Ki Tinggil mengadakan pertemuan dengan para bahusuku di rum army a, maka di lain tempat Pangeran Guru dengan dikelilingi oleh 24 orang pendekar utama, yang bersenjatakan belati di pinggang kiri dan kanan serta diiringi 50 orang prajurit bersenjata tameng di tangan kiri, tombak di tangan kanan dan pedang di pinggang,bergerak maju ke wisma Nyi Endang Darma.
Melihat gerakan Pangeran Gum menuju ke arah wisma Nyi Endang Darma, maka tanpa ada yang memerintah, murid-murid Perguruan Nyi Endang, mendahului untuk menjaga wisma Sang Gum secara tersembunyi.
Tamu Agung telah tiba lebih dahulu daripada Ki Lurah Tinggil serta para bahusuku.
Kebetulan Nyi Endang Darma sedang berada di wismanya, maka bukan main terkejutnya didatangi para bangsawan beserta barisan prajurit. Terbata-bata dia menyambut, katanya:
“Beruntung hamba mendapat kunjungan tamu agung. Hamba persilahkan masuk!”
Pangeran Guru tertegun melihat kecantikan Nyi Endang Darma, maka katanya tidak sadar:
“Sayang … sungguh sayang … Nyi Endang Darma tidak mengerti.”
Maka sahut Nyi Endang Darma: “Maafkan Tuan, hamba merasa cemas atas kedatangan Tuan, maka bolehkah hamba mengetahui siapakah Tuan, dari negeri mana, dan apa maksud Tuan, yang nampaknya mau maju perang?”
Arya Dila tidak menjawab, dia melangkah masuk diikuti oleh empat orang murid utamanya.
Bersamaan dengan itu rombongan Ki Lurah Tinggil datang dan tanpa bicara dia ikut masuk sambil berseru: “Nyi Endang, aku juga datang!”
Dengan muka cerah Nyi Endang menjawab:
“Paman, aku sangat gembira atas kedatangan Paman.”
Kemudian Ki Tinggil duduk di sampingnya.Dengan menghadap kepada Nyi Endang .
Pangeran Guru mulai membuka pembicaraan:
“Nyai Ayu, namaku Arya Dila dan orang-orang menamakan Sultan Sepuh atau Pangeran Guru.
Asalku dari Palembang Nagari. Setengah tahun yang lalu aku mendengar namamu dari salah
seorang muridku nakhoda kapal layar yang singgah di sini untuk membeli perbekalan. Dia mencuri lihat muridmu sedang berlatih silat dan terkejut karena jurusnya sama seperti ajaranku. Kemudian dia melapor padaku. Kemaren, sebelum kapalku sandar, kusuruh muridku mencuri lihat muridmu berlatih,maka aku menjadi yakin kebenaran laporan itu. Selanjutnya engkau tahu pertanyaanku.”
Setelah berhenti sebentar katanya:
“Pertanyaanku:
“Pertama. Mengapa demikian lancang mengajarkan silat yang hanya boleh terhadap golongan terbatas, kepada rakyat biasa?
“Kedua. Siapa nama guru silatmu, apakah disuruhnya atau tanpa sepengetahuannya?
“Ketiga. Apa maksud dan tujuanmu yang sebenamya?
“Keempat. Pihak mana atau siapa yang akan engkau hadapi sebagai lawan?
“Kelima. Siapa dua orang tua di belakangmu itu, tugas dan asal usulnya?”
Setelah terdiam agak lama, dan perhatian semua orang tertuju pada Nyi Endang Darma,
dia menjawab lirih: “Hamba, Endang Darma minta maaf karena tidak dapat menjawab satupun dan lima pertanyaan tadi,karena hamba sudah bersumpah hanya akan menyampaikan perihal ini kepada Gustiku Adipati Aria Wiralodra yang punya kekuasaan di negeri ini, yang sementara ini hamba sedang menunggunya.”
Pangeran Guru marah besar, mukanya merah kelabu, katanya lantang: “Benar dugaanku, menggunakan kecantikan untuk menarik murid, kecantikan dayang umbaran!”
Nyi Endang adalah seorang guru, dihina demikian rupa, darahnya mendidih, hanya karena dirinya dibilang cantik, maka amarahnya sedikit mereda, katanya hambar:
“Pangeran Arya Dila adalah Guru dari negeri besar Palembang, sayang tidak punya sopan santun, tetapi aku tidak menghendaki keributan, aku menghormati Ki Lurah Tinggil, maka dipersilahkan Pangeran beserta pengikutnya meninggalkan pondokku!”
Babad Dermayu menggambarkan perdebatan tersebut di atas dalam keindahan Pupuh Sinom sebagai berikut:
Kari-kari Endang Darma Paksa lumancang awani
Dadi guru kaya ingwang Apa kadiran sireki
Wong ayu tur lenjang kuning Oranana pada
nipun Kaya ayune Ndang Darma Dayang
umbaran sireki Ora nganggo tatakramaning
wanodya Kqji sakti – saktia sira Utawa guna
luwihi Lancange kaliwat-liwat Tan karuan nagri
neki Tanana manusia iki Kaya tingkah pan
sireku Ambales sabda Nyi Endang Duh eman
ning rupi Gusti
Langkung sae pideg sarupi sumbada
Ananging sugal wecana
Boten wonten basa liri
Mungguh pandakwa pangeran
Matur esta kang sayekti
Bade punapa Gusti
Mapan wisma datan nyambut
Utawi ka reh ning karya
Ning wengkon paduka gusti
Bade napa sumangga derek pUcersa
Endang Darma datan serab
Utawi qjrih ningali
Sakayu kayu ning adang
Semah neda den sugui
Bedama pucuking keris
Utawi sakti ning guru
Mangga gusti kersandika
Sagending abdi ladosi
Lamun kawon mapan kula ora wirang
“Endang Darma, tutup mulutmu!” teriak Arya Dila sambil memberi isyarat kepada salah seorang muridnya, maka melompatlah seorang yang bernama Wisanggeni, menangkap Nyi Endang Darma. Tetapi dengan lincahnya Nyi Endang lolos dan melesat ke luar wisma sambil berseru:
“Para tamuku yang ingin dijamu ujung wrayang, majulah!”
Maka berlompatanlah para murid Arya Dila keluar dan segera mengurung Nyi Endang Darma. Tetapi lingkaran yang rapat itu buyar kembali, karena dari setiap penjuru tiba-tiba bermunculan pengikut-pengikut Nyi Endang Darma yang telah siaga tempur. Murid-murid Arya Dila mundur secara rapih, lalu membentuk barisan perang.
Sementara itu Nyi Endang menimbang-nimbang dalam hatinya: ‘Murid-murid Pangeran Arya
Dila bukanlah orang-orang sembarangan.
Kecuali Tana dan Tani, mereka bukanlah tandingan murid-muridku yang masih baru. Maka kalau dibiarkan seluruh murid - muridku bertempur, akan banyak kerugian di pihakku, ini berarti kerugian tenaga bagi Dusun. Berarti pula aku bersalah pada Ki Lurah Tinggil yang baik hati.’
Memikir demikian maka dia mengambil keputusan berhadapan dengan musuhnya bersama Ki Tana dan Nini Tani. Kemudian serunya: “Murid muridku tidak diper-bolehkan membantu, ini urusan kami bertiga.”
Perintah gurunya segera ditaati, satu persatu segera mereka mundur, lalu mengambil tempat di belakang gurunya, sambil mewaspadai barisan prajurit yang membuat barisan setengah lingkaran di belakang Pangeran Arya Dila. Sedangkan Ki Tana dan Nini Tani telah siaga di kanan-kiri Nyi Endang.Sementara kedua belah pihak masih dalam persiapan tempur, Ki Tinggil maju ke depan
sambil berseru: “Hormatilah perang tanding secara kesatria!” Lalu dia kembali bergabung dengan bahusukunya.
Kemudian lima orang murid Arya Dila yang bernama Wisanggeni, Bramakendali,Bratakusuma, Kramadenta dan Sumalaga telah menghunus pedang lantas saja maju menyerang satu sasaran, yaitu Nyi Endang.
Karena Ki Tana maupun Nini Tani melangkah mundur, walaupun tidak menurunkan kewaspadaan. Suatu keputusan yang salah menganggap terlalu rendah murid-murid utama Pangeran Guru .
Nyi Endang coba merampas pedang Bramakendali, tetapi Bramakendali termasuk murid tertua Arya Dila. Pedangnya diputar mengarah sambaran tangan Nyi Endang dan langsung menebas. Baru saja Nyi Endang berhasil mengelak, empat pedang menyambar dari segala arah, maka terpaksa dia menjatuhkan diri dan dengan sebat selendangnya dikebut melilit tangan Wisanggeni, kemudian ditarik ke arah ujung-ujung pedang. Tentu saja keempat murid Arya Dila yang lain menjadi terkejut dan cepat-cepat menarik kembali pedang-pedangnya.
Kesempatan ini dipakai oleh Nyi Endang untuk melesat bangkit sambil mencabut patrem dari
gelung rambutnya, tetapi di lain pihak murid-murid Arya Dila yang telah terlatih dalam ilmu perang, kemudian secara serentak mencabut belati dan melontarkannya.
Nyi Endang mahir berkelahi tetapi tidak mengerti ilmu perang, maka mendapat serangan lima belati secara hampir bersamaan,dia hanya bisa lolos dari dua belati,menyampok dua yang lain dengan patremnya dan bret … satu belati dapat merobek bajunya cukup lebar, dengan luka tipis tergores di pinggangnya.
Ki Tana dan Nini Tani tersadar membiarkan Nyi Endang bertempur sendirian, mereka lengah
karena mengawasi para pembokong. Kini trio pendekar turun ke arena membuat bentuk
segitiga dalam jarak dua depa. Sementara itu Nyi Endang yang merasa terhina tangannya
menggetar, patremnya mendesing dan hanya beberapa gebrakan kemudian, Bramakendali
yang melontar belati tersebut telah roboh binasa ….
tewasnya Bramakendali menimbulkan kemarahan yang besar di kalangan murid-murid Arya Dila. Tidak kepalang tanggung segera sepuluh orang lagi maju melibatkan diri dalam pertempuran, dan lantas saja serang menyerang jadi tambah gencar. Nyi Endang tidak lagi menganggap rendah murid-murid Arya Dila, maka gerakannya jadi gesit luar biasa. Tubuhnya berkelebatan ke segala arah,menikam ke muka, menendang ke belakang,memukul ke samping, menangkis sambil berguling ke tanah ataupun melesat jumpalitan di udara. Setiap kali satu atau dua bahkan tiga
sekaligus murid Arya Dila roboh tewas.Ki Tana dan Nini Tani hanya mempunyai tugas melindungi Nyi Endang , maka tidak menyerang musuh hingga tewas. Nini Tani membuat perlindungan bagi Nyi Endang dengan gerakan tangannya, yang berputar seperti payung pelindung. Gerakan-gerakan yang dilakukan dengan kecepatan tinggi ini tidak lepas dari mata Ki Tinggil. Maka tidak sadar mulutnya mengucap: “Ah, Ni Pohaci berpayung emas.”
Kemudian ketika giliran Ki Tana yang diawasi,sekali lagi terucap: “Simah rempag; ah setengah hati!”
Kini ada titik terang bagi Ki Tinggil untuk menebak, siapa sebenarnya mereka.
Ki Tana dan Nini Tani dapat dipastikan menggunakan Silat Pajajaran. Kesimpulannya baru separuh: Silat Pajajaran-Walangsungsang- Nyi Endang Darma.
Lalu apa tugasnya, kemudian diputuskannya sendiri. ‘Nanti saja, aku harus perhatikan
jalannya pertempuran,’ kata Ki Tinggil dalam hati.
Setelah Bramakendali tewas, berturut-turut atau bersamaan tewas adalah Akhmad, Khusen,
Rakhmat, Ngali, Winata, Adinegara, Girinata,Singantara. Kusumanata, Sumalaga,Kramasuganda, Muralim, Nitikusuma,Bramatanaya, Jakakusuma, Bramabrata.Kramadenta, Bramakesuma, Kusumadilaga,Bramawijaya, Bratakusuma dan Wisanggeni.
Kejadian ini di luar dugaan Pangeran Guru Arya Dila, maka bukan kepalang gusarnya,dengan suara nyaring dia berseru: “Endang Darma, tahan dulu dan murid -muridku mundur!”
Nyi Endang memenuhi seruan tersebut.Dengan berdiri di satu kaki dan badan masih berputar, selendang di tangan kirinya masih dilecut menimbulkan suara ledakan beruntun ,sedangkan patrem di tangan kanannya perlahan-lahan diselipkan kembali ke gelung rambut kepalanya. Dengan sangat waspada pandangannya mengikuti gerakan mundur murid-murid Pangeran Arya Dila. Sementara itu murid-murid Pangeran tidak kehilangan semangat, melangkah ke belakang secara teratur sebagai layaknya prajurit-prajurit yang mengundurkan diri dari tekanan musuh yang lebih kuat.
Arena menjadi sepi, Nyi Endang menghentikan gerakannya dan berdiri di tengah-tengah 24 sosok tubuh manusia yang telah menjadi mayat berlumuran darah.
Kemudian tanpa menoleh kepada Pangeran Arya Dila, Nyi Endang Darma melompat mundur lalu membalik dan masuk ke dalam wismanya. Segera murid-murid Nyi Endang membentuk barisan penjagaan.
Di lain pihak Pangeran Arya Dila sibuk meredakan kemarahan murid-muridnya yang masih terbakar oleh semangat tempur yang meluap-luap katanya: “Murid-muridku tahan amarahmu, relakan saudara-saudaramu gugur sabilillah.”Setelah menarik napas panjang Pangeran Arya
Dila menoleh kepada jasad murid-muridnya,katanya hambar: “Inna lillahi wainaillahi rojiiun….”
Kemudian suasana menjadi hening. Semua sisa murid Pangeran Arya Dila menunduk mengikuti gurunya membaca do’ a dengan lirih:“Robbanaggfir lanna dzunubanna wa isyraafanaa fieamrinnaa wa tsabit aqdaa mana wanshurnaa alal qaumil kafirin….”
Sore itu juga seluruh jenazah dikuburkan.
Pangeran Guru sangat berduka. Jika saja matahari belum terbenam dia akan menerjang
Nyi Endang Darma. Tetapi peraturan kesatria,hanya boleh bertempur pada saat matahari terbit hingga matahari terbenam. Maka keesokan harinya saat matahari memperlihatkan diri, Pangeran Guru sudah berada di muka wisma Nyi Endang Darma,tekadnya sudah bulat membunuh Nyi Endang Darma.
Kedatangan Pangeran Guru di luar pintu wisma telah diketahui Nyi Endang, maka katanya dari
dalam: “Dengan setulus hati hamba mohon agar Pangeran meninggalkan kami!”
Mendengar nasehat ini, Pangeran Guru menjawab geram: “Semenjak Nabi Adam,manusia mana yang tidak pernah mati, anakku Khusen kemaren mati. Maka bila engkau yang tidak mati, akulah yang akan mati, tetapi untuk keduanya hidup tidaklah mungkin. Endang Darma keluarlah …!”
Bagaikan anak panah lepas dari busumya, Nyi Endang Darma melesat dari dalam wismanya langsung menyerang Pangeran Guru.Pangeran Guru meloncat ke samping ,kemudian terjadilah “perang tanding” yang langsung dahsyat seperti dalam cerita pewayangan.
Pangeran Guru segera menggempur dengan tangan kanan bagaikan kilat dan belum sampai
ke sasarannya tangan kirinya menyusul lebih dahulu menyambar, Nyi Endang cepat menunduk ke samping , tetapi Pangeran Guru tidak memberi kesempatan, kaki kanan dan kirinya menendang bergantian. Sekali lagi Nyi Endang menghindar sambil melompat ke belakang. Bagaikan kalap, Pangeran Guru ,menyerang lebih gesit. Tinjunya menyambar-nyambar seperti tangannya ada empat.Laksana terbang Nyi Endang menghindar dengan mengibaskan wrayangnya, membelah
udara, menyibak embun pagi.Menyadari serangan-serangannya tidak berhasil, Pangeran Guru mencabut pedangnya,tidak diduga pedang merupakan lawan yang cocok untuk wrayang Nyi Endang, yang terbuat dari sutra halus itu seperti berubah menjadi lempeng baja tipis, sehingga ketika beradu dengan pedang Pangeran Guru, suaranya berderit dengan memercikan bunga -bunga api.
Pangeran Guru memperlihatkan permainan pedang yang indah aliran Majapahit yang terkenal “Tiada Kulit Melainkan Isi”. Setiap gerakannya cepat dan mematikan. Tempur pedang Majapahit adalah salah satu bagian ilmu perang untuk membela negara, maka kalau saja bukan Singa-Betina Nyi Endang yang dihadapi ….Kini kedua pendekar ulung beradu senjata.
Daun-daun rontok kena angin kebutan wrayang Nyi Endang dan berkali-kali terdengar letupan berantai akibat bentrokan senjata dan gesekannya.
Udreg pedang – pinendang, sakalih panpunjul,tan wonten asoring yuda. tiang surak kadya rengatin burnt suka aningalana Pertandingan ini memang disaksikan rakyat selama hampir satu bulan. Dari matahari terbit sampai terbenam.
Babad Dermayu melukiskan dalam macapat Pupuh Sinom (satu dari delapan bait):
Kalangkung rameh ing yuda Anggene pajuning
jurit Tandange Nyi Endang Darma Kalayan
pawongan neki Gamanne pan patrem manik
Saking cucuk gelung ipun Kalayan senjata
wrayang Oranana teguh sakti Datan kiat sedaya para Pangeran
Mengukur kemampuan sendiri dan lawan, Nyi Endang lebih banyak bertahan. Pangeran Guru
sudah sepuh, sehingga daya tahannya di bawah Nyi Endang. Maka lama waktu yang akan menentukan siapa yang akan keluar jadi pemenang. Perhitungan Nyi Endang benar.
Semakin hari gerakan silat Pangeran Guru semakin menurun, maka pada suatu hari
Pangeran Guru setelah bertempur sepanjang hari, tiba-tiba gerakannya makin gesit tetapi tidak terarah. Kemudian berdiri tegak dan terdiam laksana obor kehabisan minyak ….
Nyi Endang melompat mundur karena Pangeran Guru telah wafat dalam posisi berdiri tegak ….
Sementara Nyi Endang Darma membalik dengan kepala tertunduk dan berjalan menuju wismanya, Ki Tinggil bergegas merangkul sosok Pangeran Guru Arya Dila sambil mengucapkan:
“Innalilahi wa Innailahi rojiun.”
Tanpa bersuara, sisa murid Pangeran Guru,maju ke depan membantu Ki Lurah Tinggil merebahkan jenazah Pangeran Guru,beralaskan jubah Ki Tinggil kemudian ditutup dengan jubah Pangeran Guru sendiri. Tanpa ada yang memerintah semua orang yang hadir duduk, termasuk barisan prajurit Palembang.Kemudian Ki Lurah Tinggil berdiri menghadap pada pengikut Pangeran Guru, katanya:
“Saudara- saudaraku dari Palembang, Pangeran Guru telah wafat, persoalan ini akan kusampaikan kepada penguasa nagari ini,Adipati Aria Wiralodra, yang saat ini sedang berada di Bagelen. Aku sendiri yang akan ke sana.“Bagi saudara-saudara ada dua pilihan.Pertama. Melanjutkan pergi ke Demak dan melapor kepada Gusti Sultan. Tetapi ingat kemungkinan besar saudara-saudara akan digantung, karena hukum Demak, yaitu saudara saudara harus membela Gustimu sampai mati.
“Kedua. Tinggal di sini menjadi penduduk Praja Cimanuk, para prajurit bisa meneruskan menjadi prajurit nagari ini. Lapangan kerja lain terbuka, untuk jadi petani, nelayan, pedagang atau apa saja . Tanah untuk rumah dan pertanian diberikan secara cuma-cuma.
“Nah saudara-saudaraku dari Palembang siapa yang akan melanjutkan perjalanan ke Demak.
harap berdiri!”
Ternyata tidak seorangpun yang berdiri. Maka berkata pula Ki Tinggil:
“Baiklah, mari kita makamkan jenazah Pangeran Guru bersama murid-murid yang telah mendahuluinya (di belakang Masjid Dermayu yang terkenal dengan nama Pemakaman Pangeran Selawe).”Yang paling berduka atas tewasnya Pangeran Guru Arya Dila beserta 24 orang Pangeran muridnya,adalah Ki Lurah Tinggil. Maka keesokan harinya semua bahusuku dipanggil.
Kepada para bahusuku Ki Lurah Tinggil berkata: “Saudara-saudaraku, sesuai ketentuan jumlah penduduk, maka pada hari ini jabatanku demang dan engkau semua: Pulaha,Bayantaka,Jayantaka, Surantaka, Sanasara dan
Puspahita adalah lurah. Angkatlah untuk membantu, bahusuku sesuai dengan jumlah penduduk seperti yang telah diatur.
“Besok aku akan ke Bagelen untuk laporan.Dan Pulaha menjabat Demang sementara aku belum kembali. Jagalah keamanan dan kesejahteraan rakyat!”
Ketika Aria Wiralodra meninggalkan Praja Cimanuk menuju Demak, saat itu menunjukkan akhir 1517 M. Dengan menggunakan kuda pilihan, perjalanan menjadi lebih cepat. Maka sesampainya di Demak, dia langsung menuju Kesultanan. Aria Wiraloda diterima Sultan Raden Fatah dengan gembira.
Aria Wiralodra melaporkan berdirinya Kadipaten Praja Cimanuk, di bawah Galuh Nagari dengan semua peris-tiwanya yang terjadi.
Setelah Sang Sultan memuji keberhasilannya,kemudian memberi petunjuk bagaimana komunikasi harus ditempuh untuk menjaga kerahasian.
Setelah selesai membicarakan “Cimanuk”,Sultan berkata: “Wira! Sekarang di sini sedang terjadi pem-berontakan, tetapi ini bukan tugasmu melainkan tugas ayahmu, kubebaskan engkau untuk menilai.”Setelah selesai jamuan makan yang diselenggarakan oleh Istana, Aria Wiralodr apun mohon diri untuk terus ke Bagelen.
Tiba di Bagelen Aria Wiralodra, disambut oleh keluarga dengan tangis kegembiraan. Tetapi
dia tidak dapat menikmati masa istirahat melepas lelah setelah bekerja keras membangun nagara, karena Bagelen menghadapi “kerusuhan”. Lima Kadipaten berontak melawan Demak yaitu: Banyubiru,Pamigit, Karangjati, Banyuurip dan Karanganyar. Aria Wiralodra akan menghadapinya.
Lontar Babad Darmaayu (abad XV M) menulis sebagai berikut:
Kamatyan Wiralodra
Angunggang Rama buneki
Hing Bagelen kang nagara
Sadaya katur pawarti
Dukuh ing Cimanuk kali
Bu-rama samya ngungwx
Wicaksana Wiralodra
Amangun nagara neki
Saksana kawedar pangadikane rama
Katambetan Wiralodra
Sakawane Putra mami
Saiki pan kaki sira
Mengkuha Bagelen nagri
Ana prang ingjurit
Supaya dadi kaweruh
Banyubiru lawan Demak
Peregreg ing Pamigit
Karangjati Banyuurip lan Karanganyar
Aria Wiralodra bersama saudara-saudaranya Raden Wangsanagara, Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa memimpin Lasykar Bagelen bersama-sama Pasukan Demak memadamkan pemberontakan. Peristiwa ini membuat Aria Wiralodra tinggal cukup lama di Bagelen .Pada saat itu (1522 M ) Aria Wiralodra akan kembali ke Praja Cimanuk, tiba -tiba Ki Tinggil datang.
Kedatangan Ki Tinggil di Bagelen,menimbulkan tanda tanya, khususnya Aria Wiralodra yang menduga tentu telah terjadi sesuatu di Praja Cimanuk. Maka setelah melepas lelah. Ki Tinggil duduk dikerumuni keluarga Singalodra.
Duduk menghadap Gusti Sepuh Singalodra, Ki Tinggil bercerita: “Gusti! Sepeninggal Den Wira, rakyat pedukuhan Praja Cimanuk dalam keadaan sejahtera. Rencana pembuatan jalan,gang dan saluran air telah dilaksanakan.
‘Tiba-tiba saja, pada suatu hari datang seorang wanita cantik bernama Nyi Endang Darma
diiringi oleh pa-wongannya suami istri bernama Ki Tana dan Nini Tani,minta izin untuk mukim di Dukuh Cimanuk.
Sudah tentu hamba beri izin, sesuai pesan Den Wira.
“Kemudian ternyata Nyai Endang bukan saja cantik dalam rupa tetapi juga dalam perbuatan. Suka membantu atau menolong orang yang dalam kesulitan; memberi petunjuk cara bercocok tanam yang lebih baik,cara berdagang yang menarik minat pembeli ,cara para gadis atau ibu-ibu berbusana sederhana tetapi menarik dan lain-lain.
“Akhirnya yang mengejutkan hamba, Nyi Endang Darma seorang sakti. Pandai menggunakan berbagai senjata sebagai seorang prajurit dan bersilat tangan kosong sebagai pendekar, Nyi Endang membuka perguruan silat tanpa imbalan.
“Hamba biarkan penduduk berguru silat karena akan berguna kelak dalam wajib bela negara. Hamba berfikir alangkah pantasnya menjadi garwa Den Wira ….
“Demikianlah dan hari ke hari murid -murid Nyi Endang Darma bertambah, bersama bertambahnya kemakmuran penduduk Cimanuk.”
Kemudian diuraikanlah kedatangan Pangeran Gum Aria Dila beserta murid-murid dan prajurit Palembang secara terperinci sampai timbulnya huru-hara yang menyedihkan.
Karena pandainya Ki Tinggil mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi maka suasana
menjadi sangat sunyi mencekam. Semua terdiam, sampai Adipati Singalodra berkata:
“Wira, Pangeran Guru Aiya Dila adalah masih
kakekmu dari Majapahit. Selain dari pada itu,kalau kita melindungi Nyi Endang Darma, kita
akan berhadapan dengan Gusti Sultan Demak.Maka tangkaplah dia! Bawalah kedua adikmu
Tanujaya dan Tanujiwa untuk membawa Nyi Endang Darma ke Demak!”
Dengan menggunakan kuda-kuda terbaik Aria Wiralodra, Raden Tanujaya, Raden Tanujiwa
dan Ki Tinggil berangkat dari Bagelen menuju Dukuh Cimanuk.
Tiba di Dukuh Cimanuk disambut oleh para lurah, bahusuku dan rakyat, yang banyak di antara mereka belum mengenal Gustinya.
Hanya Nyi Endang yang tidak hadir, hatinya risau, tidak tahu apa yang harus dia perbuat.
Maka jalan satu-satunya dia tetap tinggal di wismanya.
Pada keesokan harinya Aria Wiralodra mengutus Ki Tinggil dan Ki Pulaha memanggil
Nyi Endang. Nyi Endang sangat gelisah kedatangan mereka hatinya gugup: “Paman,silahkan masuk dan duduklah!”
Beberapa saat lamanya dia tidak dapat membuka mulut, tapi kemudian katanya lagi:”
Paman, Endang Darma merasa bersalah,sampai Paman pergi ke Bagelen karena perbuatanku. Kini, kiranya Paman telah kembali, khabar apa yang Paman bawa?”
“Nyai,” sahut Ki Tinggil, “benar, Paman telah kembali dari Bagelen beserta Gusti Wiralodra
bahkan dua saudaranya ikut serta. Paman kemari janganlah membuat Nyai terkejut.Tidak lain Nyai diminta datang sekarang menemuinya!”
“Paman!” sahut Nyai Endang Darma, “kalau begitu perkenankanlah Endang Darma berpakaian dahulu.”
Beberapa saat kemudian Nyi Endang keluar dari kamamya, mengenakan pakaian miliknya
yang terbaik dan menggunakan minyak wangi yang harurn lembut. Bagaikan bidadari yang
keluar dari pintu Dalem Pawidadaren, Endang Darma yang cantik menjadi lebih cantik lagi
dimata para penjemputnya.
Serat Babad Dermayu, melukiskannya dalam pupuh Kinanti seperti berikut:
Nyi Endang ngandika arum Mangga bade
dangdos krihin Nyi Endang ngrasuk busana
Pinaes lenga asuri
Rema cemang andan andan Kulit kuning nemu
giring Dedeg sedeng langkung ayu Datan ana
sakeng estri Kadi rupi Endang Darma
Sakancane kaki Tinggil Nderek Endang Darma
Kadi putri Widadari
Ki Tinggil dan Ki Pulaha bam tersadar, setelah tertegun cukup lama. Bagaikan mimpi, mereka
melihat Nyi Endang Darma yang cantiknya makin bertambah dengan busana yang serasi.
Berkata Nyi Endang: “Mari Paman Tinggil, mari Paman Pulaha!”
Dengan gugup Ki Tinggil mempersilahkan Nyi Endang berjalan di muka. Setibanya di Wisma
Agung, Nyi Endang Darma disambut Aria Wiralodra.
Nyi Endang memberi hormat dengan membungkuk dan duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, tidak berani memandang wajah Aria Wiralodra. Hatinya msuh melihat seorang satria yang sangat menarik, tegap dan tampan.
Tidak berbeda dengan Nyi Endang, Aria Wiralodra hatinya tergetar melihat wanita yang sangat cantik ini.
Aria Wiralodra membuka kata: “Bagea Nyai! Aku tamu yang bam datang ingin sekali berjumpa dengan Nyai, karena itu aku suruh Paman Tinggil menjemput.”
“Gusti! Yang menjadi tamu menumpang hidup adalah hamba. Hamba telah mohon kepada Paman Tinggil ikut menetap di sini,” kata Nyi Endang.
“Nyai,” sahut Aria Wiralodra, “engkau punya hak untuk tinggal dan membangun penghidupan di sini.” Setelah hening sejenak,lanjutnya: “Nyai, ada sesuatu yang aku ingin mendengar langsung dari Nyai mengenai peristiwa tewasnya Pangeran Guru dan 24 orang muridnya.
Ceritakanlah yang sebenarnya terjadi!”Dengan paras muka yang sayu, Nyi Endang Darma berkata: “Gusti, hamba bersumpah dengan menyebut nama Allah Yang Maha Mengetahui, hamba akan bicara yang sebenarnya, tidak berani menambah atau mengurangi.”
Maka diceritakanlah oleh Nyi Endang apa yang telah terjadi dan dibenarkan oleh Ki Tinggil
dan Ki Pulaha. Lama Aria Wiralodra termenung, kemudian katanya: “Eyang Guru yang salah, aku tidak memihaknya. Tetapi Nyai diminta kesediaannya bertanding dengan saudara-saudaraku. Aku ingin melihat cara bagaimana engkau dapat menjatuhkan Eyang Guru.”
Nyai Endang menjawab lirih: “Gusti, hamba tidak berani, ampunilah hamba!”
Aria Wiralodra, seorang satria Pinandita,nuraninya dapat membaca pikiran Nyi Endang Darma, yang diucapkan tidak seperti yang dipikirkannya, maka katanya sambil tersenyum:
“Nyai! Ini perintahku, dan termasuk sayembara, tetapi tidak boleh saling melukai.”
Kata-kata ini mengandung arti agar Nyi Endang Darma tidak menurunkan pukulan telak. Tetapi
di luar dugaan, Raden Tanujaya telah berdiri.Katanya nyaring: “Nyai! Cah ayu marilah!”
Maka sambung Aria Wiralodra: “Nyai,dengarlahjagoku telah berkokok marilah kita semua ke ‘arena latihan prajurit’.”Di tempat duduk, Aria Wiralodra menempati kursi deretan komandan pelatih, di samping kanan Nyi Endang Darma bersama Ki Tana dan Nini Tani. Sedangkan di sebelah kiri Ki Tinggil bersama Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa.
Sementara penonton terbatas hanya dari Dalem Agung .
Kemudian Aria Wiralodra berseru: “Sayembara bisa segera dimulai!”
Dengan gembira Raden Tanujaya turun ke gelanggang diikuti Nyi Endang Darma. Maka setelah
berhadapan dengan jarak tiga depa, Raden Tanujaya sekali lagi berseru: “Nyai! Cah ayu!
Bila engkau kalah, jadilah istriku, akan kubawa ke Bagelen!”
Nyi Endang Darma tidak senang mendengar Raden Tanujaya berteriak di tengah gelanggang
seperti itu, maka dari jauh selendangnya dikebut yang menimbulkan arus angin deras menerpa muka Raden Tanujaya. Betapapun cepat Raden Tanujaya mengelak, tidak urung kuping kirinya tersambar yang langsung berubah warna, menjadi merah-biru.
Kini Raden Tanujaya tidak main-main , dia cepat pasang kuda -kuda dan sambil membentak keras meloncat, langsung menjambret pundak Nyi Endang Darma. Tetapi sebelum tangannya sampai ke pundak, dia merasa ada angin berkesiur dari kiri dan kanan. Maka dengan cepat tangan kiri dan
kanannya menangkis. Inilah kesalahannya.
Nyi Endang Darma sengaja dengan gerakan selendangnya membuat reaksi lawan agar pertahanan dada menjadi terbuka. Maka ketika kesempatan ini terjadi, kaki kiri Nyi Endang menerjangnya. Tidak pelak lagi, Raden Tanujaya terpental lima depa ke belakang….
Orang yang paling khawatir atas keselamatan Putra Adipati Bagelen Singalodra adalah Ki Tinggil. Semua orang tahu Ki Tinggil adalah seorang Panakawan, tetapi banyak yang tidak tahu bahwa dia adalah pengasuh dan guru sekaligus.
Maka bagaikan burung elang, Ki Tinggil menyambar Raden Tanujaya yang hampir terbanting ke tanah. Tidak urung Raden Tanujaya pingsan. Napasnya menyesak, tanpa diketahui orang banyak, Ki Tinggil telah mengurut dan menyadarkannya.
Melihat saudara kembarnya celaka, Raden Tanujiwa meloncat langsung ke arena.
Tindakannya ringan, maka orang menduga akan terjadi pertarungan yang seru.
Seperti saudaranya, ternyata kata-kata Raden Tanujiwa lebih usil, setelah memuji kecantikannya kemudian katanya: “Aja inda duh wong ayu, pengen ngemek bae Nyai!”
Sementara bicara Raden Tanujiwa melesat dan berhenti di belakang Nyi Endang , tangan kanannya langsung menyambar tengkuk Nyi Endang. Tanpa memutar tubuhnya, Nyi Endang
menangkis. Gagal dengan pukulannya,Tanuwjiwa melanjutkan dengan tendangan lurus ke depan. Nyi Endang menghindar,sambil berbalik balas menendang. Raden Tanujiwa lompat mundur.
Nyi Endang melecut selendangnya ke kanan dan ke kiri tubuh Raden Tanujiwa secara bergelombang, maka tidak ada jalan lain kecuali mundur. Ketika mundur ke “arah”
tempat duduk Aria Wiralodra untuk melompat mundur, Nyi Endang dengan cepat menggeser
ke samping lalu melontar selendangnya melingkar tubuh Raden Tanujiwa dan bersamaan dengan lompatan mundur Raden Tanujiwa, selendang Nyi Endang yang telah melilit tubuhnya dan langsung disentakkan mengikuti arah lompatan . Tak ayal lagi Raden Tanujiwa melayang ke arah Aria Wiralodra.
Ki Tinggil, Sejak awal sudah melihat gelagat ini tetapi ukuran jaraknya yang tidak tepat, maka
tubuh Raden Tanujiwa melayang di atas kepalanya.
Beruntung, Raden Tanujiwa memiliki ilmu ringan tubuh yang cukup baik, sehingga tidak jatuh terbanting. Tetapi tidak urung dia terjerembab dan terhenti dalam posisi sujud kepada …. Aria Wiralodra.Berlawanan dengan gusar, Aria Wiralodra tertawa nyaring, katanya: “Aku membawa jago terbaik dari Bagelen, berkokok sepanjang jalan tetapi baru diadu dengan babon sudah jatuh
bergulingan!”
Mendengar ejekan tersebut, Raden Tanujiwa berteriak: “Cobalah Kanda tangkap dia! Aku heran, Nyi Endang punya ilmu apa? Pendekar-pendekar para pemberontak di Demak,aku jatuhkan tidak sampai 10 jurus!”
Tanpa menghiraukan ocehan adiknya, Aria Wiralodra menghampiri Nyi Endang Darma dan katanya lembut: “Nyai, kulihat barusan suatu pertunjukan yang menyenangkan hati, rasanya
aku ingin mencoba macam apa pedasnya tamparan Nyai. Karena itu mau tidak mau besok pagi kuminta Nyai melawanku, tidak di tempat ini yang sempit, melainkan di Alun-alun!”
Nyi Endang Darma tertegun, walaupun Aria Wiralodra sudah menduganya. Tetapi ketika mendengar permintaan ini mulutnya rasanya terkunci. Sebagai seorang pendekar, dia tidak
takut, tetapi hatinya terkait sejak saat pandangan pertama, laksana besi purasani bertemu dengan besi baja.
Setelah lama terdiam dia sadar dan merasa jengah sendiri, mukanya … bersemu dadu disembunyikan dengan menunduk. Yang tidak dapat bersembunyi adalah Aria Wiralodra,
dengan tidak berkedip memandang keelokan Nyi Endang Darma.Ki Tinggil cepat bertindak, dihampirinya Nyi Endang Darma, maka seperti mendapat jalan,berkata Nyi Endang Darma: “Aduhai Paman,apa yang harus kuperbuat. Endang Darma hanya memohon hidup di sini. Mengapa harus melawan Gusti Wiralodra?”
Dengan penuh kasih tapi bersuara nyaring Ki Tinggil berkata: “Nyai, Den Wira tidak akan
melukaimu, kalau sampai Nyai terluka, Paman akan minggat. Tetapi juga kalau Den Wira yang
terluka, Paman tidak mau lagi bicara sama Nyai.”